Connect with us

Hukum

Tetapkan PF Tersangka ”Tabrak” Aturan, “Bobrok” Kejari KKT Dibongkar PH di Praperadilan

Published

on

SAUMLAKI, DM.COM,-Penetapan tersangka Bupati Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT) Periode 2017-2022, Petrus Fatlolon, yang dilakukan oleh Kejari KKT dinilai “tabrak” aturan. Karenanya, “bobroknya” korps Adiyaksa didaerah itu diuji lewat permohonan Praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Kelas II Saumlaki.

Ini tercermin pada sidang Praperadilan di PN Kelas II Saumlaki, Selasa (23/7/2024) dipimpin hakim tunggal PN Kelas II Saumlaki, Arya Siregar. Hadir sebagai pemohon Penasehat hukum (PH) Fatlolon sebagai pemohon dan Kejari KKT sebagai termohon dan dihadiri ratusan pendukung Fatlolon dari berbagai desa di KKT ikut memadati ruang sidang maupun dihalaman lembaga peradilan itu.

Sidang kali ini dengan agenda pembacaaan permohonan oleh PH Fatlolon akrab disapa PF sebagai pemohon. Setelah sebelumnya sidang perdana, Selasa (16/7/2024) tidak dihadiri termohon dengan alasan menghadapi hari Bhakti Adiyaksa.

Dalam surat permohonan yang dibacakan, PH PF sebagaimana diterima DINAMIKAMALUKU.COM, menyebut, alasan dasar permohonan Praperadilan dengan fakta-fakta hukum yang dijadikan dasar permohonan Praperadilan, yakni Pemohon merupakan warga negara Indonesia yang berdomisili di Kabupaten Kepulauan Tanimbar yang pernah menjabat sebagai Bupati Kabupaten Kepulauan Tanimbar Periode 2017-2022.

“Salah satu kewenangan Pemohon sebagai pihak yang pernah menjabat sebagai Bupati Kabupaten Kepulauan Tanimbar Periode 2017 — 2022, diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Bupati Nomor 900-57-2020, tanggal 19 Januari 2020, yang mengatur bahwa Pemohon selaku Bupati Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun 2017-2022 berwenang untuk melimpahkan seluruh atau sebagian kewenangannya selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah kepada Sekretaris Daerah selaku Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah,”kata PH PF.

Dituturkan, 22 Mei 2022 lalu, berdasarkan Pengumuman Nomor:
170/01/Pengumuman/2022 tentang Usulan Pemberhentian Jabatan Bupati dan Wakil Bupati Kepulauan Tanimbar Masa Jabatan 2017-2022, Pemohon sudah tidak aktif menjadi Bupati Kabupaten Kepulauan Tanimbar, karena berakhirnya masa jabatannya.

“Pada awal tahun 2023, Termohon telah menerbitkan beberapa surat-surat yang menjadi dasar untuk menerbitkan Surat Panggilan, menerbitkan Nota Dinas dan menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan Keuangan Negara dalam Penggunaan Anggaran Perjalanan Dinas pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun 2020, yaitu sebagai berikut,”tandasnya.

Disebutkan, Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Kepulauan Tanimbar Nomor: PRINT-01/Q1.13/Fd.2/01/2023, tanggal 04 Januari 2023 (“Sprindik 4/01/23”) untuk Tersangka Iain, bukan Pemohon; dan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Kepulauan Tanimbar Nomor: PRINT-03/Q.1.13/Fd.2/01/2023, tanggal 30 Januari 2023 (“Sprindik 30/01/23”) untuk Tersangka Iain, bukan Pemohon.

” Bahwa Pemohon dipanggil oleh Termohon untuk didengar keterangan sebagai Saksi berdasarkan Surat Panggilan Saksi Nomor: SP.651/Q.1.13/Fd.2/05/2024, tanggal 15 Mei 2024 (Bukti P – 2) untuk menghadap pada hari Jumat tanggl 17 Mei 2024 guna diperiksa dalam dugaan tindak pidana korupsi anggaran Perjalanan Dinas (SPPD) pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun Anggaran 2020, dimana Surat Panggilan Saksi tersebut diterima oleh Benjamin Samangun selanjutnya dikirim kepada Pemohon, tetapi Pemohon tidak bisa hadir karena sedang berproses untuk memperoleh Rekomendasi guna mencalonkan diri sebagai Bupati Kepulauan Tanimbar Tahun 2024,”jelasnya.

Bahwa Pemohon juga dipanggil oleh Termohon untuk Pemberian Keterangan sesuai Surat Termohon Nomor B-652/Q1.13/Fd.2/05/2024, tanggal 15 Mei 2024 (Bukti P – 3) untuk menghadap pada tanggal 17 Mei 2024, yang mana surat Panggilan tersebut diterima oleh Basilius Batbual guna Pemohon dimintai keterangan sebagai Saksi dalam perkara dugaan tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Penyertaan Modal pada PT Tanimbar Energi yang bersumber dari APBD Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun Anggaran 2020 s/d Tahun Anggaran 2022, akan tetapi Pemohon menyurati Termohon dan meminta untuk diperiksa pada tanggal 27 Juni 2024.

“Walaupun dengan itikad baik Pemohon telah menyurati Termohon untuk dapat diperiksa pada tanggal 27 Juni 2024, akan tetapi Termohon tidak menghiraukan surat pemohonan penundaan pemeriksaan Saksi tersebut, bahkan Termohon tetap memanggil Pemohon untuk diperiksa sebagai saksi sesuai Surat Panggilan Saksi ke-2 Nomor SP: 73/Q1.13/Fd.2/05 /2024, tanggal 22 Mei 2024 (Bukti P – 4) dan Surat Panggilan Saksi tanggal 17 Mei 2024, yang diterima oleh Aditya Imsula pada tanggal 23 Mei 2024, akan tetapi karena Pemohon masih mengurus kepentingan Pemohon, maka Pemohon berkomunikasi melalui Telepon/HP dengan Termohon untuk diperiksa sebagai saksi pada hari Kamis tanggal 30 Mei 2024, pukul 08.00 WIT di Kantor Kejaksaan Tinggi Maluku, dimana Pemohon memberikan keterangan terhadap dua perkara yaitu dugaan tindak pidana korupsi anggaran dari Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun Anggaran 2020 dan Perkara dugaan tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaana Penyertaan Modal pada PT Tanimbar Energi yang bersumber dari APBD Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun Anggaran 2020 s/d Tahun Anggaran 2022,”paparnya.

PH PF mengakui, Pemohon berhalangan hadir untuk didengar keterangan sebagai Saksi dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan Keuangan Negara dalam Penggunaan Anggaran Perjalanan Dinas pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun Anggaran 2020 dan dugaan tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Penyertaan Modal pada PT Tanimbar Energi yang bersumber dari APBD Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun Anggaran 2020 s/d Tahun Anggaran 2022, dimana alasan ketidakhadiran Pemohon karena sedang mengikuti Fit and Proper Test atau Uji Kelayakan dan Kepatutan pada beberapa Partai Politik yaitu Partai Gerinda dan PKB guna maju sebagai Calon Bupati di Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun 2024 (Bukti P — 5).

“Bahwa dasar Pemohon dipanggil untuk diperiksa sebagai Saksi adalah Surat Perintah Penyidikan yang dikeluarkan oleh Termohon (Kepala Kejaksaan Negeri
Kabupaten Kepulauan Tanimbar) Nomor: PRINT-OI/Q. 1.13/Fd.2/01/2023, tanggal 4 Januari 2023 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor PRINT03/Q.1.13/Fd.2/01/2023, tanggal 30 Januari 2023, dengan Tersangkanya adalah orang Iain karena tidak dicantumkan nama Calon Tersangkanya di dalam Surat Panggilan Saksi, akan tetapi diduga Sprindik tersebut dikeluarkan kepada
Tersangka/Terdakwa PETRUS MASELA dan/RUBEN BENHARVIOTO MORIOLKOSSU yang perkaranya sudah dilimpahkan dan diperiksa oleh Pengadilan, sehingga Sprindik-Sprindik tersebut tidak dapat digunakan lagi untuk dijadikan dasar penyidikan karena penyidikan tersebut telah ditingkatkan ke tahap penuntutan atau telah dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan,”bebernya.

Bahwa berdasarkan Pasal 1 ayat 2 KUHAP, di jelaskan Penyidikan adalah “serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan barang bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya,” seiring dengan penjelasan Pasal 1 ayat 2 tersebut di atas dengan diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan oleh Pejabat yang berwenang belum tentu sudah memuat penetapan tersangka atas seseorang karena esensi dari penyidikan adalah upaya penyidik mengumpulkan alat bukti guna menemukan tersangkanya, dari esensi penyidikan tersebut berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Kepulauan Tanimbar Nomor: PRINT-01/Q1.13/Fd.2/01/2023, tanggal 04 Januari 2023 dan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Kepulauan Tanimbar
Nomor: PRINT-03/Q1.13/Fd.2/01/2023, tanggal 30 Januari 2023, “tegasnya.

Untuk itu, ingat PH PF seharusnya Termohon menerbitkan Surat Perintah Penyidikan yang bersifat umum untuk melakukan pengumpulan alat bukti guna menemukan tersangka yang selanjutnya dari hasil penyidikan umum tersebut dibuatkan laporan hasil perkembangan penyidikan serta dilakukan pemaparan atau ekspose untuk menjelaksan tentang alat bukti yang diperoleh dari hasil penyidikan untuk dapat menemukan atau menentukan siapa yang dapat dimintai pertangung jawaban pidananya atau calon tersangkanya.

“Kemudian dari hasil pemaparan atau ekspose tersebut barulah diterbitkan Surat Penetapan Tersangka, dan Surat Perintah Penyidikan khusus yang sudah dicantumkan nama tersangkanya, bahkan pada saat dilakukannya Penyidikan Umum Termohon sudah harus menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (“SPDP”) yang ditujukan kepada Penuntut Umum dan tembusannya disampaikan kepada Terlapor (calon Tersangka)/Pelapor, namun dalam penerapanya Termohon tidak pernah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Umum dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang terkait dengan penyidikan Pemohon sebagai tersangka melainkan Termohon menggunakan Surat Perintah Nomor: PRINT01/Q1.13/Fd.2/01/2023, tanggal 4 Januari 2023 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor PRINT-03 /Q1.13/Fd.2/01/2023, tanggal 30 Januari 2023 yang tidak jelas penyidikan untuk tersangka siapa? atau Sprindik yang sudah kadaluarsa,”kesalnya.

Ironisnya, secara sewenang-wenang Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka berdasarkan Surat Penetapan Tersangka (PIDSUS-18) Nomor: B816/Q.1.13/Fd.2/06/2024, tertanggal 19 Juni 2024 tanpa didukung dua alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan membuat surat Perintah Penyidikan PRINT-297/Q1.13/Fd.2/06/2024, tanggal 19 Juni 2024 yang mencantumkan nama Pemohon sebagai Tersangka.

“Seharusnya untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, harus terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi,”tegasnya.

Begitu juga berdasarkan Pasal 1 ayat 2 KUHAP dan Instruksi Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2023, tanggal 29 September 2023 dan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 130/PUU-X111/2015 (“Putusan R1 No. 130/2015”), telah menegaskan sebagai berikut, Instruksi Jaksa Agung Nomor. 8 Tahun 2023, untuk kedua angka ke-3: “dalam hal tersangkanya Iebih dari 1 (satu) orang dan berkas perkaranya di pisah (splitzing) maka untuk tiap perkaranya diterbitkan Surat Perintah Penyidikan, diikuti dengan penetapan tersangka.”

” Putusan Nomor 130/2015 Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/terlapor dalam waktu paling Iambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan,”sebutnya.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, dijelaskan,  tindakan penyidikan yang dilakukan oleh Termohon untuk mencari alat bukti dan untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka adalah tindakan yang tidak sah dan bertentangan dengan hukum, dengan demikian harus dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Saumlaki cq. Hakim Tunggal yang memeriksa dan memutus perkara ini.

” Bahwa dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan oleh Termohon kepada Pemohon dalam dugaan Tindak Pidana Korupsi penyalahgunaan keuangan negara dalam penggunaan Anggaran Perjalanan Dinas pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun 2020, seharusnya ditindaklanjuti oleh Termohon dengan mengeluarkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (“SPDP”), akan tetapi hal tersebut tidak dilakukan oleh Termohon sebagaimana diatur dalam dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang diperluas dengan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 130/2015, untuk itu tindakan Termohon adalah tidak sah dan bertentangan dengan hukum, sebagaimana yang dipertimbangkan sebagai berikut,”ujarnya.

Prapenuntutan sebagai mekanisme koordinasi penyidik dan jaksa penuntut mmum yang diwajibkan oleh KUHAP memang seringkali mengalami kendala khususnya terkait dengan seringnya penyidik tidak memberikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) maupun mengembalikan berkas secara tepat waktu. Hal tersebut jelas berimplikasi terhadap kerugian bagi terlapor dan korban/pelapor. Hak-hak korban/pelapor dan terlapor menjadi tidak pasti dikarenakan mekanisme yang tidak tegas dan jelas. Hal tersebut berimbas pada tidak adanya kepastian hukum terhadap sebuah perkara tindak pidana yang merugikan terlapor dan korban/pelapor dalam mencari kepastian hukum serta tidak sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang ada dalam KUHAP.

” Adanya keterlambatan pengiriman SPDP dari Penyidik kepada jaksa penuntut umum dan tidak adanya batasan yang jelas kapan pemberitahuan tentang dimulainya penyidikan itu harus disampaikan kepada jaksa penuntut umum menyebabkan tidak adanya kepastian hukum terkait penanganan perkara tersebut. Menurut Mahkamah, penyampaian SPDP kepada jaksa penuntut umum adalah kewajiban penyidik untuk menyampaikannya sejak dimulainya proses penyidikan, sehingga proses penyidikan tersebut adalah berada dalam pengendalian penuntut umum dan dalam pemantauan terlapor dan korban/pelapor,”lasnya.

Namun, fakta yang terjadi selama ini dalam hal pemberian SPDP, kadangkala SPDP baru disampaikan setelah penyidikan berlangsung lama. Adanya alasan bahwa tertundanya penyampaian SPDP karena terkait dengan kendala teknis, menurut Mahkamah, hal tersebut justru dapat menyebabkan terlanggarnya asas due process oflaw sebagaimana dijamin dalam Pasai 2D ayat (1) (JUD NRI 1945.

“Mahkamah berpendapat, tertundanya penyampaian SPDP oleh penyidik kepada Jaksa Penuntut Umum bukan saja menimbulkan ketidakpastian hukum akan tetapi juga merugikan hak konstitusional terlapor dan korban/pelapor. Oleh karena itu, penting bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa pemberian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum akan tetapi juga terhadap terlapor dan korban/pelapor. Alasan Mahkamah tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa terhadap terlapor yang telah mendapatkan SPDP, maka yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk Penasihat Hukum yang akan mendampinginya, sedangkan bagi korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas laporannya,”paparnya.

Berdasarkan pertimbangan tersebut menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon bahwa SPDP tersebut bersifat wajib adalah beralasan menurut hukum. Sifat wajib tersebut bukan hanya dalam kaitannya dengan Jaksa Penuntut Umum akan tetapi juga dengan kaitannya dengan terlapor dan korban/pelapor.

“Adapun tentang batasan waktunya, Mahkamah mempertimbangkan bahwa waktu paling lambat 7 (tujuh) hari dipandang cukup bagi Penyidik untuk mempersiapkan menyelesaikan hal tersebut. Berkenaan dengan kutipan pertimbangan tersebut, faktanya Termohon pada saat melakukan penyidikan tidak pernah mengeluarkan atau menerbitkan SPDP kepada Pemohon sebagaimana Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang telah diperluas dengan Putusan MK RI No. 130/2015, sehingga dengan demikian Penyidikan menjadi gugur dan batal,”tegasnya.

Ini menandakan dengan demikian jelas terbukti Termohon tidak pernah melakukan penyelidikan dugaan tindak pidana Korupsi dengan Calon Tersangka adalah Pemohon, padahal tindakan penyelidikan perlu dilakukan oleh Termohon sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP yang menegaskan bahwa, “Penyelidikan adalah serangkaian Tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukannya Penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini,”ingatnya lagi

Selain itu tidak ada Laporan dugaan Tindak Pidana Korupsi kepada Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP yang berbunyi:
Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP, Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf a angka 1.2 dan 4 KUHAP, karena kewajiban Termohon adalah :

  1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
  2. Mencari Keterangan dan barang bukti;
  3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
  4. Mengadakan tindakan Iain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Kewajiban Termohon sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP tersebut di atas diduga tidak dilaksanakan oleh Termohon, karena faktanya Termohon langsung melakukan Penyidikan yang seharusnya merupakan tindak lanjut dari Tindakan Penyelidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP yang berbunyi, “Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang Tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan Tersangkanya.”

“Dengan demikian Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon adalah tindakan yang tidak sah dan bertentangan dengan hukum, oleh karena itu Termohon harus menghentikan Penyidikan atas diri Pemohon,”terangnya.

Cilakanya, saat Termohon melakukan tindakan Penyidikan terhadap Pemohon, Termohon tidak pernah menerbitkan Surat Peritnah Penyidikan dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) atas nama Pemohon yang merupakan kewajiban Termohon sebagaimana yang diatur dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang telah diperluas dengan Putusan MK RI No. 130/2015.

“Akan tetapi, Termohon bertindak seakan-akan telah melakukan penyidikan terhadap Pemohon dengan dasar Surat Perintah Penyidikan Nomor: PRINT-01/
Q. 1.13/Fd.2/01/2023, tanggal 4 Januari 2023 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor PRINT-03/Q1.13/Fd.2/01/2023, tanggal 30 Januari 2023 untuk Tersangka Iain, bahkan untuk pemanggilan Pemohon untuk dimintai keterangan sebagai Saksi di persidangan dan Penetapan Pemohon sebagai tersangka semunya menggunakan dasar Surat Perintah Penyidikan Nomor. PRINT-OI/Q. 1.13/Fd.2/ 01/2023, tanggal 4 Januari 2023 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor PRINT-03/Q.1.13/Fd.2/ 01/2023, tanggal 30 Januari 2023 dan tidak pernah ditindaklanjuti dengan Surat Perintah Penyidikan dan SPDP atas nama Pemohon,”jelasnya lagi.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas maka tindakan penyidikan yang dilakukan oleh Termohon untuk mencari alat bukti dan untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka adalah tindakan yang tidak sah dan bertentangan dengan hukum, dengan demikian harus dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Saumlaki cq. Hakim Tunggal yang memeriksa perkara ini.

“Perbuatan Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: PRINT-01/Q.1.13/Fd.2/01/2023, tanggal 4 Januari 2023 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor: PRINT03/Q1.13/Fd.2/01/2023, tanggal 30 Januari 2023 yang diduga atas nama Terdakwa Petrus Masela dan Ruben Benharvioto Moriolkossu, yang kasusnya sudah dilimpahkan di Pengadilan dan telah diperiksa oleh Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Ambon, untuk itu Surat Penetapan Tersangka Nomor: B816/Q.1.13/Fd.2/06/2024, tanggal 19 Juni 2024 adalah tidak sah dan bertentangan dengan hukum, “tandasnya.

Mestinya, pada saat tindakan penyidikan yang dilakukan oleh Termohon berdasarkan kedua Surat Perintah Penyidikan tersebut sudah tergambar secara jelas didalam laporan perkembangan penyidikan dan ekspose bahwa telah ditemukan bukti permulaan yang cukup bahwa Pemohon telah melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara dan ditetapkan sebagai Tersangka bersama sama dengan Petrus Masella dan Ruben Benhrvioto Moriolkossu, yang saat ini telah menjadi Terdakwa dimana perkaranya sudah disidangkan di Pengadilan,”tuturnya.

Untuk itu, tegasnya, Termohon harus menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Baru atas nama Pemohon, dikatakan demikian karena rangkaian penyidikan yang dilakukan oleh Termohon berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: PRINT01/Q.1.13/Fd.2/ 01/2023, tanggal 4 Januari 2023 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor. PRINT-03/Q.1.13/Fd.2/01/2023, tanggal 30 Januari 2023, bukan untuk Pemohon, tetapi untuk orang Iain dan kedua Sprindik tersebut telah berakhir masa berlakunya pada saat kedua perkara tersebut ditingkatkan ke tahap penuntutan dan dilimpahkan ke Pengadilan untuk disidangkan.

“Namun patut dipertanyakan mengapa termohon kembali menggunakan Surat Perintah Penyidikan Nomor: PRINT-01/Q1.13/Fd.2/ 01/2023, tanggal 4 Januari 2023 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor PRINT-03/Q.1.13/Fd.2/ 01/2023, tanggal 30 Januari 2023 yang sudah tidak berlaku lagi atau sudah selesai masa berlakunya untuk mengembangkan penyidikan dan menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, bahkan tidak pernah ada penetapan dari Majelis Hakim dalam perkara atas nama terdakwa Petrus Masella dan Ruben Benharvioto Moriolkossu yang mengarah kepada pengembangan penyidikan untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka,”kesalnya.

Oleh karena itu, lanjutnya, Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon atas diri Pemohon adalah tidak sah dan bertentangan dengan hukum, sehingga Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon atas diri Pemohon adalah tidak sah dan harus dinyatakan batal oleh Hakim Tunggal yang memeriksa perkara a quo.

” Bahwa Pemohon tidak bertanggungjawab dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan Keuangan Negara dalam Penggunaan Anggaran Perjalanan Dinas pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun 2020, karena telah diatur secara tegas dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah yang pada Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri a quo Huruf A Angka 4 Tentang Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah,”sebutnya.

Disebutkan dalam Permendagri tersebut, dalam melaksanakan kekuasaan Kepala Daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya yang berupa perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, serta pengawasan Keuangan Daerah kepada Pejabat Perangkat Daerah dengan memperhatikan sistem pengendalian internal yang didasarkan pada prinsip pemisahan kewenangan antara yang memerintahkan, menguji, dan menerima atau mengeluarkan uang. Pelimpahan kekuasaan ditetapkan dengan keputusan Kepala Daerah.

“Dalam Pengelolaan Penggunaan Anggaran Perjalanan Dinas pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun Anggaran 2020 Pemohon telah mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Nomor 900-57-2020, tanggal 19 Januari Tahun 2020 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan Bupati Selaku Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah Kepada Sekretaris Daerah Selaku Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun 2020, dimana Pelimpahan Sebagian Kewenangan Pengelolaan Keuangan Daerah Kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Tanimbar Selaku Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang Tahun Anggaran 2020, untuk itu bila terjadi Kerugian Keuangan Negara dalam Penggunaan Anggaran Perjalanan Dinas pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepuluan Tanimbar, maka yang bertanggungjawab penuh adalah Sekretaris Daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar Selaku Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah, bukan tanggungjawab Pemohon sebagai Bupati Kepulauan Tanimbar saat itu,”ujarnya.

“Bahwa perlu untuk diketahui oleh Yang Mulia Hakim Tunggal yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini, jauh sebelum Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon, pada sekitar bulan Oktober sampai dengan Desember 2023, Termohon beberapa kali telah menginisiasi dan meminta Pemohon untuk melakukan pertemuan, yang pada akhirnya Pemohon mengakomodir permintaan pertemuan dari Termohon tersebut, yang masing-masing dilaksanakan di Jakarta maupun di Ambon,”bebernya.

Karenanya, PH PF menegaskan, penetapan pemohon sebagai tersangka oleh termohon bertentangan dengan pasal 1 angka 2 KUHAP karena surat perintah penyidikan diterbitkan pada tanggal yang sama dengan penetapan pemohon sebagai tersangka.

Bahwa Pemohon diduga melakukan tindak pidana korupsi penyalahgunaan Keuangan Negara dalam Penggunaan Anggaran Perjalanan Dinas pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun Anggaran 2020, dengan sangkaan melanggar:
Primair: Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tindak Pidana Korupsi”) Juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1
KUHP, Subsidair: Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) UU Tindak Pidana Korupsi jo Pasai 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

“Padahal, syarat seseorang ditetapkan menjadi Tersangka harus dilakukan penyidikan terlebih dahulu berdasarkan Pasa] 1 angka 2 KUHAP, yang menyebutkan: Pasai 1 2 KUHAP
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya,”ingatnya.

Bahwa sebagaimana ditentukan oleh KUHAP, setiap proses pidana selalu didahului dengan adanya laporan atau aduan atau adanya peristiwa tertangkap tangan. Laporan atau aduan atau peristiwa tertangkap tangan tersebut menjadi dasar untuk dapat dilakukannya penyelidikan. Hasil akhir dari sebuah penyelidikan barulah dapat menjadi dasar untuk dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.

“Penyelidikan dan penyidikan sebagaimana tersebut di atas diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 KUHAP dan Pasal 1 angka 2 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut, dan kami kutip dengan penambahan huruf tebal: Pasai 1 KUHAP “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dila.kukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. “Pasai 1 2 KUHAP “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”tegasnya.

Selain dalam ketentuan tersebut di atas, proses penyelidikan atau penyidikan sebagaimana dimaksud di atas, juga diatur dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 (“Undang-Undang Kejaksaan RI”) jo Pasal 8 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/JA/10/2010 tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-OI 7/A/JA/07/2014 (“Perja RI No. 039/2010”), yang dikutip sebagai berikut:
Pasal 11 UU Kejaksaan RI
Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hükum tetap;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itü dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Pasal 8 Perja No. 03912010
(1) Sumber penyelidikan perkara tindak pidana korupsi yang oleh Pimpinan diputuskan untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan;
(2) Laporan hasil penyelidikan perkara tindak pidana korupsi yang oleh Pimpinan diputuskan untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan.

Bahwa dengan merujuk pada ketentuan hükum di ataş, maka untuk mencapai proses penentuan Tersangka khusunya Penetapan Pemohon sebagai Tersangka yang pertama-tama haruslah terlebih dahulu dilakukan serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana (PENYELIDIKAN). Untuk itu, diperlukan keterangan dari pihak-pihak yang terkait dan bukti-bukti awal yang dapat djalin sebagai suatu rangkaian peristiwa sehingga dapat ditentukan ada tidaknya suatu peristiwa pidana.

Bahwa setelah proses penyelidikan tersebut dilalui, maka selanjutnya dila.kukan rangkaian ündakan untuk mencari sena  bukt:i agar terang suatu tindak pidana ygg terjadi (PENYIDIKAN). Untuk itu, kembali lagi haruslah dilakukan tindakan-tindakan untuk meminta keterangan dari pihak-pihak yang terkait dan pengumpulan bukti-bukti, sehingga peristiwa pidana y_ang diduga sebelumnya telah menjadi jelas dan terang, dan oleh karenanya dapat ditentukan siapa tersangkanya.

Rangkaian prosedur tersebut di ataş, merupakan cara atau prosedur hükum yang WAJB DITEMPUH oleh penyidik (in casu: Tennohon) untuk mencapai proses penentuan seseorang (in casu: Pemohon) sebagai Tersangka. Dengan demikian, fase/tahapan penyidikan yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP jo Pasal 11 UU Kejaksaan RIjoPasal 8 Perja No. 039/2010 telah menyatakan secara tegas dan tidak dapat diragukan lagi bahwa tindakan utama penyidikan adalah untuk mencari dan menemukan 3 (tiga) hal, yaitu:

1) Bukti;
2) Tindak Pidana; dan
3) Pelakunya (Tersangkanya).

  1. Berkenaan dengan penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon dalam proses penyidikan secara tegas diatur dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP jo. Putusan MK No. 21/2014. Dimana Pasal 1 angka 14 KUHAP memberikan definisi bahwa ‘Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. ‘ Selanjutnya Mahkamah Konstitusi RI melalui Putusan MK No. 21/2014 menegaskan bahwa frasa ”bukti permulaan”, (‘bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti sebagai batasan minimal jumlah alat bukti, yaitu sebagaimana kami kutip di bawah ini:
    Putusan No. 21/2014
    “Frasa ”bukti permulaan”, ”bukti permulaan yang cukup”, dan ”bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa ”bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
    Pidana. Bahwa berdasarkan amar Putusan MK No. 21/2014 tersebut di atas, maka norma Pasal 1 angka 14 KUHAP harus dimaknai sebagai berikut:
    “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan “minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184” patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”.
    [penebalan kata dan penambahan garis bawah sengaja dilakukan Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka sepatutnya PENETAPAN PEMOHON
    SEBAGAI TERSANGKA BARU DAPAT DILAKUKAN OLEH TERMOHON APABILA TELAH PROSES PENYELIDIKAN DAN PENYDIK.AN YANG HARUS DISERTAI DENGAN MINMAL 2 (DUA) ALAT BUKTI YANG SAH SEBAGAMANA DMAKSUD DALAM PASAL 184 ayat (1) KUHAP. Selain itu, didapati fakta bahwa selain Sprindik 4/01/23 dan Sprindik 30/01/23 yang menjadi dasar Surat Penetapan Tersangka, terdapat Sprindik lainnya yang berkaitan dengan Sprindik 4/01/23, Sprindik 30/01/23, dan Surat Penetapan Tersangka, yaitu Sprindik 19/06/24, yang diterbitkan pada tanggal yang sama dengan Surat Penetapan Tersangka (in casu 19 Juni 2024). Dalam poin di atas dasar Sprindik 19/06/24, disebutkan bahwa yang menjadi salah satu dasar dari Sprindik 19/06/24 adalah Sprindik 4/01/23, Sprindik 30/01/23 dan Surat Penetapan Tersangka. Lebih jauh, pada poin 2 pertimbangan Sprindik 19/06/24 disebutkan “Bahwa untuk melakukan Tindakan Penyidikan terhadap Tersangka PETRUS FATLOLON (Bupati Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun angaran 2017 — 2022) perlu diterbitkan Surat Perintah Penyidikan yang merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Kepulauan Tanimbar Nomor: PRINT-01/Q.1.13/Fd.2/01/2023, tanggal 04 Januari 2023 (in casu Sprindik 4/01/23) dan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Kepulauan Tanimbar Nomor: PRINT03/Q1.13/Fd.2/01/2023, tanggal 30 Januari 2023 (in casu: Sprindik 30/01/23)”.

“Akan tetapi, faktanya Sprindik 19/06/24 sama sekali tidak menjadi dasar dalam Penetapan Pemohon sebagai Tersangka, dan bahkan sama sekali tidak disinggung tentang Sprindik 19/06/24 sebagai dasar Penetapan Pemohon oleh Termohon sebagai Tersangka, dengan demikian Sprindik tersebut dianggap tidak pernah ada untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka,”tandasnyam

Sehubungan dengan uraian di atas, muncul pertanyaan sebagai berikut:

(i) Sejak kapan Termohon memperoleh/menemukan 2 (dua) alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP guna menemukan tersangkanya (in casu Pemohon)?
(ii) Apakah 2 (dua) alat bukti yang sah itu didapat oleh Termohon setelah Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka berdasarkan Sprindik?

(iii) Sprindik mana saja yang sesungguhnya menjadi dasar Surat Penetapan Tersangka?
(iv) Mengapa terdapat Sprindik ke-3 (in casu: Sprindik 19/06/24) yang diterbitkan dengan berdasarkan Sprindik 4/01/23, Sprindik 30/01/23 dan Surat Penetapan Tersangka, dengan tanggal penerbitan yang sama dengan Surat Penetapan Tersangka (in casu: 19 Juni 2024)?
(v) Sehubungan Sprindik 19/06/24 diterbitkan pada tanggal yang sama dengan Surat Penetapan Tersangka, jadi apa sebenarnya fungsi dari Sprindik 19/06/24?

(vi) Bukankah Surat Penetapan Tersangka yang dihubungkan dengan Sprindik 19/06/24 telah melanggar proses penentuan seseorang (in casu: Pemohon) sebagai Tersangka sebagaimana Pasal 1 angka 2 KUHAP.

Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka Surat Penetapan Pemohon sebagai Tersangka dengan Surat Ketetapan Nomor/Fd.2/06/2024, tanggal 19 Juni 2024 tidak berdasarkan 2 (dua) alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Prosedur yang benar adalah 2 (dua) alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) KUHAP harus didapat setelah itu ban penyidikan (pemeriksaan pro justicia) secara lengkap telah selesai dilakukan, artinya setelah dilakukan penyidikan berdasarkan Sprindik 19/06/24, yang dasamya adalah Sprindik 4/01/23 dan Sprindik 30/01/23, serta menjadi suatu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dari Sprindik 4/01/23 dan Sprindik 30/01/23. Hal tersebut juga sekaligus membuktikan bahwa Penetapan Tersangka terhadap Pemohon juga telah melanggar Pasal 1 angka 2 KUHAP jo Pasal 11 UU Kejaksaan RI jo Pasal 8 Perja No. 039/2010, sehingga menurut hukum harus dinyatakan tidak sah.

Merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 14 KUHAP jo Pasal 11 UU Kejaksaan RI jo Pasal 8 Perja No. 039/2010, maka menjadi jelas dan gamblang bahwa minimal 2 (dua) alat bukti yang sah belum dapat/dikumpulkan oleh Termohon, tetapi berdasarkan Sprindik 4/01/23 dan Sprindik 30/01/23 yang jelas dikeluarkan untuk Tersangka lain, maka tidak terdapat minimal 2 (dua) alat bukti yang sah, akan tetapi Termohon tetap menetapkan Pemohon sebagai Tersangka. 

Selanjutnya, Termohon mengeluarkan Sprindik 19/06/24 yang seharusnya menjadi dasar dan konsiderans dari Surat Penetapan Tersangka atas diri Pemohon, oleh karena itu üdak terdapat bukti yang cukup dan buktiyangcukup untzzkmenetapkan Pemohon sebagai Telsangka, karena dasar dari Sprindik 19/06/24 adalah merupakan tindak lanjut dari Sprindik 4/01/23 dan Sprindik 30/01/23, yang menjadi suatu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan, dengan demikian Penyidikan dan Penetapan Pemohon sebagai Telsangka adalah tidak sah dan bertentangan dengan hukum Acara, sehingga harus dinyatakan batal oleh Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Saumlaki yang memeriksa perkara Praperadilan ini.

“Mohon Menjadi Perhatian Yang Mulia Ketua Pengadilan Negeri Saumlaki cg. Yang Mulia Hakim Tunggal yang memeriksa, mengadili, dan memutus Perkara a quo, bahwa penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon yang tidak didasarkan minimal 2 (dua) alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP lo. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 21/2014, serta Penetapan Pemohon sebagai Tersangka sangat jelas melanggar serta menabrak ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP dan merupakan tindakan sewenang—wenang yang melanggar ketentuan perundang-undangan (in casu KUHAP), serta melanggar hak konstitusional Pemohon selaku Warga Negara Indonesia sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945, yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum,”paparnya.

Berdasarkan seluruh uraian di atas tentang Sprindik 4/01/23 jo. Sprindik
30/01/23 jo. Sprindik 19/06/24 jo. Surat Penetapan Tersangka Nomor B-
816/Q.1.13/Fd.2/06/2024, tanggal 19 Juni 2024 adalah tidak sah dan tidak
berdasar hukum, oleh karenanya Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon (in casu Surat Penetapan Tersangka) tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat, sehingga harus dibatalkan.

Sementara itu, alat bukti yang dijadikan dasar termohon dalam pemohon sebagai tersangka tidak memenuhi pasal 184 ayat 1 KUHAP.

Sebagaimana telah diuraikan oleh Pemohon di atas, bahwa cara atau prosedur hukum yang WAJIB D oleh penyidik (in casu: Termohon) untuk mencapai proses penentuan seseorang (in casu Pemohon) sebagai Tersangka diatur dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP telah menyatakan secara tegas dan tidak dapat diragukan lagi bahwa tindakan utama penyidikan adalah untuk mencari dan menemukan 3 (tiga) hal:
(i) bukti;
(ii) ădak pidana; dan
(iii) pelakunya aersangkanya).

  1. Selain itu, berkenaan dengan kegiatan penyidikan yang patut dan mutlak diperhatikan yakni adanya alat bukti yang sah dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Alat bukti yang sah tersebut diatur di dalam Pasal 184 ayat
    (1) KUHAP, yang dikutip sebagai berikut:
    Pasal 184 ayat (1) KUHAP Alat bukti yang sah ialah:
    a. keterangan saksi;
    b. keterangan ahli;
    c. surat;
    d. petunjuk;
    e. keterangan terdakwa.
    Ketentuan tersebut di atas, juga dipertegas oleh Mahkamah Konstitusi RI sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/2014, ditentukan bahwa dalam frasa “bukti permulaan”, “bukti permu.laan yang cukup”, dan “bu.kd yang cukup” sebagaimana Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP, dan karenanya Pasal 77 huruf a KUHAP harus dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

“Melalui uraian tersebut di atas, diketahui bahwa pada dasarnya cara atau prosedur hukum dalam kegiatan penyidikan, memerlukan instrumen hukum yang menjadi “kunci utama” untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka. Instrumen hukum dimaksud, mengacu pada ketentuan yang sudah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP jo Putusan MK No. 21/2014, dimana berdasarkan
kedua ketentuan hukum tersebut ditentukan bahwa setelah penyidik menyelesaikan seluruh rangkaian cara atau prosedur penyidikan, maka penyidik dapat menetapkan seseorang (in casu: Pemohon) menjadi tersangka, sepanjang sudah diperoleh minimal 2 (dua) alat bukti yang cukup, sah dan konstitusional.
Perhitungan Kerugian Keuangan Negara Dalam Menetapkan Pemohon Sebagai Tersangka Adalah Cacat Dan Tidak Sah,”tegasnya.

Apalagi, Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, karena diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Tipikor jo. Pasal 55 ayat (1) ke-l KUHP, memiliki unsur pokok sehubungan dengan adanya kerugian negara. Unsur yang esensial dalam perkara a quo adalah harus adanya bukti nyata telah terjadi kerugian keuangan negara atau dalam tindak pidana korupsi kerugian keuangan negara YANG HARUS BENAR-BENAR NYATA ADA, BARULAH PEMOHON DAPAT DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA.

Bahwa sehubungan dengan perhitungan kerugian keuangan dan/atau perekonomian negara, haruslah dibuktikan dan harus dapat dihitung oleh lembaga/instansi negara yang ahli yang ditetapkan undang-undang, dalam menghitung kerugian keuangan dan/atau perekonomian negara. Dimana sesuai pranata hukum yang berlaku, lembaga yang berhak dan berwenang untuk melakukan perhitungan dan menentukan adanya kemgian keuangan dan/atau perekonomian negara, senyatanya ialah Badan Pemeriksaan Keuangan ("BPK"), yang kewenangannya ditentukan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan ("Undang-Undang BPK"), yang kami kutip sebagai berikut:

“Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang BPK:
BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara,”terangnya.

Kewenangan BPK dalam menghitung kerugian keuangan dan/atau perekonomian negara, juga dipertegas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nornor 25/PUU-XIV/2016 tertanggal 25 Januari 2017 ("Putusan MK No. 25/2016"), serta Surat Edaran Mahkamah Agung RI No 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan ("Sema No. 4/2016"), yang dikutip sebagai berikut:

Poin 3.10.4 halaman 112 s.d. 113 Putusan MK No. 25/2016
Bahwa dengan keberadaan UU Administrasi Pemerintahan dikaitkan dengan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) UU Tipikor menurut Mahkamah menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma penerapan unsur merugikan keuangan negara dalam tindak pidaha korupsi. Selama ini, berdasarkan Putusan Mahkamah Nomor 003/PUU-IV/2006 pemahaman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan bukan saja karena perbuatan tersebut ‘merugikan keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata” akan tetapi hanya “dapat” menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potential loss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan ke depan pengadilan. Dalam perkembangannya dengan lahirnya UU Administrasi Pemerintahan maka kerugian negara karena kesalahan administratif bukan merupakan unsur tindak pidana korupsi. Kerugian negara menjadi unsur tindak pidana korupsi jika terdapat unsur melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan. Da-lam hal adanya penyalahgunaan kewenangan, suatu perbuatan baru dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi apabila berimplikasi terhadap kerugian negara (kecuali untuk tindak pidana korupsi suap, gratifikasi atau pemerasan), pelaku diuntungkan secara melawan hukum, masyarakat tidak dilayani, dan perbuatan tersebut merupakan tindakan tercela. Dengan demikian bila dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, maka penerapan unsur merugikan keuangan negara telah bergeser dengan menitikberatkan pada adanya akibat, tidak lagi hanya perbuatan. Dengan perkataan Iain kerugian negara merupakan implikasi dari: 1) adanya perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang Iain atau suatu korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dan 2) penyalahgunaan kewenangan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang Iain atau suatu korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 IJU Tipikor. Berdasarkan hal tersebut menurut Mahkamah unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss) namun harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) untuk dapat diterapkan dala.m tindak pidana korupsi.”
Poin 3.10.6 halaman 114 s.d. 115 Putusan No. 25/2016
Bahwa penerapan unsur merugikan keuangan dengan menggunakan konsepsi actual loss menurut Mahkamah lebih memberikan kepastian hukum yang adil dan bersesuaian dengan upaya sinkronisasi dan harmonisasi instrumen hukum nasional dan internasional, seperti dengan UU Administrasi Pemerintahan sebagaimana diuraikan dalam paragraf [3.10.2] dan paragraf [3.10.3] di atas, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) dan UndangUndang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) serta Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Anti Korupsi, 2003 (United Nation Convention Against Corruption, 2003) yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 UU BPK mendefiniskan,

“Kerugian negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Berdasarkan ketentuan tersebut konsepsi kerugian negara yang dianut adalah konsepsi kerugian negara dalam arti delik materiil, yakni suatu perbuatan dapat dikatakan merugikan keuangan negara dengan syarat harus adanya kerugian negara yang benar-benar nyata atau aktual. Konsepsi tersebut sebenarnya sama dengan penjelasan kalimat “secara nyata telah ada kerugian negara” yang tercantum dalam Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasannya yang menyatakan sebagai kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Selain itu, agar tidak menyimpang dari semangat Konvensi PBB Anti Korupsi maka ketika memasukkan unsur kerugian negara dalam delik korupsi, kerugian negara tersebut harus benar-benar sudah terjadi atau nyata. Hal ini dikarenakan delik korupsi yang terdapat dalam Konvensi PBB Anti Korupsi telah diuraikan secara jelas meliputi suap, penggelapan dalam jabatan, memperdagangkan pengaruh, penyalahgunaan jabatan, pejabat publik memperkaya diri secara tidak sah, suap di sektor swasta, penggelapan dalam perusahaan swasta, pencucian uang hasil kejahatan, menyembunyikan adanya kejahatan korupsi, dan menghalanghalangi proses peradilan.
Sema No. 4/2016
Intansi yang berwenang menyatakan ada tidak kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Perangkat Kerja Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau mendeclare adanya kerugian keuangan Negara. Dalam hal tertentu hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara.

Bahwa dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa sehubungan dengan perhitungan kerugian keuangan dan/atau perekonomian negara, ditentukan: (i) lembaga yang berwenang menghitung dan mendeclare ada atau tidak ada kerugian keuangan dan/atau perekonomian negara adalah BPK RI, dan (ii) perhitungan kerugian keuangan dam/atau perekonomian negara jenis
delik dari Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor yang awalnya merupakan delik formil menjadi delik materil, yang harus dibuktikan secara nyata (actual loss).

Bahwa sehubungan dengan perkara a quo, perhitungan kerugian keuangan dan/atau perekonomian negara yang dijadikan sebagai salah satu alat bukti dalam menetapkan Pemohon menjadi Tersangka disusun dalam Laporan Hasil Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara oleh Tim Auditor Kejaksaan Tinggi Maluku dalam Penggunaan Anggaran Perjalanan Dinas pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun Anggaran 2020 Nomor: R34/Q1.7/H.111.3/10/2023 tanggal 02 Oktober 2023 (“Laporan Auditor”) sebesar Rp 1.092.917.664,- (Satu Milyar Sembilan Puluh Dua Juta Sembilan Ratus Tujuh Belas Ribu Enam Ratus Enam Puluh Empat Rupiah). Hal mana, dalam dokumen Laporan Auditor tersebut tidak ditemukan adanya kerugian negara dalam dugaan Tindak Pidana Korupsi penyalahgunaan Keuangan Negara dalam Penggunaan Anggaran Perjalanan Dinas pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun Anggaran 2020.

Tidak hanya itu, perhitungan kerugian keuangan dan/atau perekonomian negara tersebut juga tidak dihitung dan ditetapkan oleh lembaga/institusi negara yang berwenang, yaitu BPK RI atau Auditor yang ditunjuk oleh BPK-RI, Sehingga konsekuensinya Laporan Auditor yang disusun oleh Kejaksaan Tinggi Maluku tersebut jelas bukan merupakan Laporan Keuangan sah dan oleh karenanya tidak dapat dijadikan sebagai salah alat bukti untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, menjadi jelas dan gamblang bahwa penetapan Pemohon sebagai Tersangka adalah cacat dan tidak sah, karena tidak memenuhi unsur bukti permulaan sebagaimana Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP jo. Putusan MK No. 25/2016 jo. SEMA Nomor 4/2016 karena perhitungan kerugian keuangan dan/atau perkonomian negara tidak dilakukan oleh lembaga/instansi negara yang ahli yang ditetapkan undang-undang (in casu: BPK RI). Dengan demikian, patut untuk dipertanyakan
“Mengapa Kejaksaan Negeri Kabupaten Kepulauan Tanimbar sangat amat memaksakan Pemohon menjadi Tersangka? Dan apakah Termohon hanya berupaya mencari pihak untuk menjadi “kambing hitam” dalam perkara dugaan ándak pidana korupsi penyalahgunaan Keuangan Negara dalam Penggunaan Anggaran Perjalanan Dinas pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun Angaran 2020?”
Alat Bukti Berupa Keterangan Terdakwa Dalam Menetapkan Pemohon Sebagai Tersangka Adalah Cacat Dan Tidak Sah.

Sebagaimana telah Pemohon uraikan di atas, bahwa salah satu alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ialah keterangan terdakwa, dimana yang dimaksud dengan keterangan terdakwa diatur dalam Pasal 189 KUHAP, yang dikutip sebagai berikut:
Pasal 189 ayat (1) KUHAP
(1) Keterangan terdakwa ialah apa Yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertal dengan alat bukti yang Iain.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, apabila ditafsirkan secara autentik, maka keterangan terdakwa baik yang dinyatakan di dalam maupun di luar persidangan tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti untuk menetapkan seseorang Iainnya untuk menjadi tersangka, termasuk Penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon karena keterangan terdakwa tersebut hanya berlaku dan mengikat untuk terdakwa itu sendiri sebagaimana secara tegas diatur dalam Pasal 189 ayat

(3) KUHAP.

Proses Penetapan Pemohon Sebagai Tersangka Tidak Melalui Prosedur Yang Sah. Bahwa pada hakikatnya inti dari kegiatan penyidikan adalah melakukan pengumpulan alat bukti untuk memastikan perbuatan yang diperiksa sebagai perbuatan pidana atau bukan perbuatan pidana, barulah kemudian menentukan siapa pelaku perbuatan pidana tersebut (tersangka). Dalam proses penyidikan ini juga menentukan terpenuhi atau tidaknya unsur-unsur tindak pidana yang akan dipersangkakan kepada tersangka. Oleh karena itu, bukti-bukti tentang tindak pidana haruslah menunjukan bahwa pihak yang bersangkutan tersebutlah yang telah melakukan tindak pidana tersebut. Penyidik dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka atas suatu perbuatan atau suatu tindak pidana haruslah memastikan secara jelas mengenai tindak pidana yang disangkakan kepada seseorang tersebut, harus dengan jelas memastikan terdapat bukti-bukti mengenai terjadinya perbuatan pidana tersebut dan memastikan bahwa buktibukti tersebut juga berhubungan dengan seseorang yang melakukan perbuatan itu, yang akan menjadi tersangka. Sehingga, penyidik dalam rangkaian tindakan penyidikan diharuskan melakukan suatu proses pengumpulan bukti terlebih dulu, yang mana dari kumpulan bukti yang diperoleh tersebut barulah kemudian penyidik menemukan/menetapkan Tersangka dalam suatu tindak pidana, dan bukan serta merta secara sewenang-wenang menemukan atau menetapkan Tersangka sebelum melakukan pengumpulan bukti sebagaimana ditentukan dalam Pasal a quo.

Selain itu, demi menjunjung tinggi nilai-nilai luhur hak asasi manusia, maka untuk mendukung rangkaian pengumpulan bukti-bukti dalam kegiatan penyidikan guna menemukan/menetapkan seseorang menjadi tersangka, harus didahului dengan adanya pemeriksaan seseorang sebagai saksi, yang juga har-Is diterangkan atau diberitahukan kepadanya, bahwa seseorang tersebut juga diperiksa sebagai calon tersangka sebagaimana Putusan MK No. 21/2014, yang dikutip sebagai berikut:
Putusan     No. 21/2014:

Agar memenuhi asas kepastian hukum yang adi_l sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 serta memenuhi asas lex certa dan asas lex stricta dalam hukum pidana maka frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya.
Putusan MK No. 21/2014:
Menimbang bahwa pertimbangan Mahkamah yang menyertakan pemeriksaan calon tersangka disamping minimum dua alat bukti tersebut diatas adalah untuk tujuan transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum orang ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan keterangan Yang seimbang dengan minimum dua alat bukti yang telah ditemukan oleh penyidik.

Berdasarkan Putusan MK No. 21/2014 tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa dalam hal penetapan seseorang menjadi Tersangka harus melalui proses dan mekanisme yang benar dan mengharuskan adanya pemeriksaan calon tersangka sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka, agar calon tersangka yang berkaitan dapat memberikan keterangan yang berimbang atas apa yang disangkakan kepadanya dalam proses penyidikan dan untuk menghindari kesewenang-wenangan Penyidik.

Namun demikian, pada saat Pemohon dipanggil dan diperiksa oleh Termohon, faktanya Pemohon tidak pernah diterangkan atau diberitahukan bahwa Pemohon tidak hanya dipanggil dan diperiksa sebagai saksi, melainkan Termohon memanggil dan memeriksa Pemohon juga sebagai calon Tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan keuangan negara dalam penggunaan Anggaran Perjalanan Dinas pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun 2020 dan dugaan tindak pidana korupsi pada PT Tanimbar Energi yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Kabupaten Kepuluan Tanimbar Tahun 2020 sampai dengan

Tahun Anggaran 2022, Selain itu Termohon tidak pernah menerangkan atau memberitahukan Pemohon sebagai calon tersangka, Termohon juga secara sewenang-wenang tidak mengikuti cara atau rangkaian prosedur penyidikan dengan sebagaimana mestinya, karena Termohon secara fatal dan serta merta malah menetapkan Pemohon sebagai tersangka, tanpa prosedur dan ketentuan hukum yang berlaku.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, menjadi jelas dan terang bahwa tidak pernah adanya keterangan atau pemberitahuan terhadap Pemohon sebagai calon tersangka, maka penetapan Pemohon sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan keuangan negara dalam penggunaan Anggaran Perjalanan Dinas pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun 2020, tidak memenuhi ketentuan hukum Pasal 184 ayat (1) KUHAP jo. Putusan MK No. 21/2014 yang ditetapkan, sehingga secara mutatis mutandis penetapan tersangka terhadap Pemohon harus dinyatakan cacat dan tidak sah serta dibatalkan oleh Yang Mulia Hakim Tunggal yang memeriksa dan memutus perkara ini.
D. NOTA DINAS YANG DITERBITKAN OLEH TERMOHON TDAK PERNAH DITERIMA OLEH PEMOHON.

Dalam melaksanakan wewenang Termohon untuk menjalankan penyelidikan dan penyidikan (in casu: dalam hal ini termasuk wewenang Termohon untuk menetapkan tersangka), mutlak harus dilakukan berdasarkan Asas Kepastian Hukum, dalam artian bahwa setiap proses penyelidikan dan penyidikan harus menjunjung tinggi prosedur hukum acara yang berlaku, yaitu KUHAP dan peraturan perundang-undangan pelaksananya.

Berkenaan dengan proses penyelidikan dan penyidikan sebagaimana yang telah Pemohon uraikan di atas juga harus dibarengi dengan adánya proses pemberitahuan penyidikan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 109 ayat (1) jo. Putusan MK RI No. 130/2015, tertanggal 11 Januari 2017, yang menentukan bahwa :
Pasai 109 ayat (1) KUH-AP
(1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.
Putusan RI No. 130/2015
(2) Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahulan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan.

Rangkaian prosedur tersebut di atas merupakan cara atau prosedur hukum yang wajib dan mutlak ditempuh oleh penyelidik dan penyidik (in casu: Termohon) untuk mencapai proses penentuan seseorang (in casu: Pemohon) sebagai Tersangka. Dengan demikian, fase/tahapan tersebut menjadi suatu bentuk rangkaian penyidikan yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP yang telah menyatakan secara tegas dan tidak dapat diragukan lagi bahwa tindakan utama penyidikan adalah untuk mencari dan menemukan 3 (tiga) hal, yaitu: (i) bukti, (ii) tindak pidana, dan (iii) pelakunya (tersangkanya).

Namun demikian, bilamana menelaah fakta-fakta hukum yang telah Pemohon uraikan tersebut di atas, dalam hal dilakukannya penetapan status Tersangka (terhadap Pemohon), ditemukan fakta bahwa ca.ra atau prosedur hukum sebagaimana ditentukan tersebut tidak ditempuh oleh Termohon, karena Termohon malah menerbitkan Nota Dinas yang jelas-jelas dan sama sekali tidak pemah diterima oleh Pemohon.

  1. Tidak pernah diterimanya Nota Dinas tersebut, telah menunjukkan bahwa Termohon diduga sama sekali tidak pernah melakukan cara atau prosedur hukum berupa penyelidikan dan penyidikan dalam menetapkan Pemohon sebagai tersangka. Dimana dengan tidak dilakukannya penyelidikan dan penyidikan tersebut merupakan pelanggaran terhadap prosedur sebagaimana ditentukan Pasal 1 angka 5 WHAP jo. Pasal 1 angka 2 KUHAP. Parahnya lagi, Termohon juga tidak pernah menerbitkan pemberitahuan dimulainya penyidikan dalam dilakukannya penyidikan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 109 ayat (1) jo. Putusan MK RI No. 130/2015. Akibatnya, dari ketiadaan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan dalam dilakukannya penyidikan, maka secara mutatis mutandis penetapan status tersangka terhadap diri Pemohon menjadi cacat dan harus dibatalkan.
    Quad-non, kalaupun Nota Dinas tersebut hendak dipersamakan atau dijadikan sebagai suatu dasar dimulainya proses penyidikan, maka surat pemberitahuan dimulainya penyidikan tersebut telah lewat waktu 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya Sprindik 04/01/23 dan Sprindik 30/01/23.

Sedangkan termohon telah menyalahgunakan, tugas, fungsi, dan wewenangnya (Abuse Of Power) dalam menetapkan pemohon sebagai tersangka.

Kejaksaan Negeri Kabupaten Kepulauan Tanimbar (in casu: Termohon) merupakan lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang. Dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya, Kejaksaan Negeri Kabupaten Kepulauan Tanimbar wajib melaksanakan kekuasaan negara dengan prinsip mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hükum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Namun demikian, sebagaimana telah Pemohon uraikan tersebut di ataş, terdapat penyalahgunaan wewenang oleh Termohon selaku lembaga negara yang telah kontraproduktif dengan tugas, fungsi dan wewenangnya (abuse of power), karena Termohon telah menyalahgunakan kewenangannya untuk menetapkan status seseorang menjadi tersangka (in casu: terhadap Pemohon). Dimana, jauh sebelum Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon, pada sekitar bulan Oktober s.d Desember 2023, Termohon beberapa kali telah menginisiasi dan meminta Pemohon untuk melakukan pertemuan, yang pada akhirnya Pemohon mengakomodir permintaan pertemuan dari Termohon tersebut, yang masing-masing dilaksanakan di Jakarta maupun di Ambon.

Bahwa sehubungan dengan penetapan Pemohon sebagai tersangka yang telah melanggar tertib hükum acara pidana yang berlaku, maka karenanya penetapan tersangka terhadap Pemohon patut dinyatakan cacat prosedur dan tidak sah, karena telah menyebabkan pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional dari Pemohon yang seharusnya dijamin dan dilindungi oleh negara sebagaimana Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945 3 ayat (3) huruf a dan b Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (“UU No. 12/2005”)
28 D ayat (1) 1945 setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hükum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hükum
3 ayat hurufa dan b UU No. 12/2005 Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji:
a. menjamin bahwa setiap orang yang hak atau kebebasanya sebagaimana diakui dalam kovenan ini dilanggar, akan memperoleh upaya pemulihan yang efektif, walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang yang bertindak dalam kapasistas sebagai pejabat negara;
b. menjamin agar setiap orang yang menuntut upaya pemulihan tersebut harus ditentukan haknya oleh lembaga peradilan, administratif atau legislatifyang berwenang lainya, yang diatur
oleh sistem hukum negara tersebut, dan untuk mengembangkan kemungkinan pemulihan yang bersifat umum.

” Mohon Perhatian Yang Mulia Hakim Tunggal Praperadilan yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini, bahwa penting dan fundamentalnya penegakän hukum pidana yang benar dan sesuai dengan nilai-nilai luhur hak asasi manusia, juga sejalan dengan sambutan Prof. Dr. H. Sanitiar Burhanuddin, S.H., M.M., selaku Jaksa Agung RI, yang dikemukakan dalam acara pelantikan Wakil Jaksa Agung RI, pada tanggal 04 Juli 2024, yaitu ” bekerjalah menggunakan nurani dan aka] sehatyang konsisten pada kebenaran agarperilaku saudara selalu mendukung upaya menjadikan kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum nomor satu, baik dazi sisipenegakan hukum maupun pelayanan publiknya”.
Sambutan tersebut di atas begitu amat penting untuk diterapkan, agar tidak ada lagi orang yang ditetapkan sebagai tersangka, dengan cara-cara atau prosedur yang tidak benar, dimana hal itu dapat menciderai prinsip-prinsip dasar dan hakikat penegakan hukum pidana yang sebagaimana mestinya,”harapnya.

Dengan demikian, lanjutnya, menjadi jelas dan terang bahwa terbukti Termohon telah menyalahgunakan tugas, fungsi dan wewenangnya (abuse of power), yakni dengan menetapkan status tersangka terhadap Pemohon tanpa memiliki dua alat bukti yang sah dan prosedur hukum yang wajib dan mutlak ditempuh dalam proses penyelidikan dan penyidikan sebagaimana ditetapkan dalam tertib hukum acara pidana yang berlaku, sehingga telah menyebabkan pelanggaran atas hakhak konstitusional dari Pemohon, oleh karenya Penyidikan, Penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon adalah tindakan dan perbuatan tidak sah dan harus dinyatakan batal oleh Yang Mulia Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Saumlaki yang memeriksa, dan memutus perkara ini.

” PERMOHONAN, Berdasarkan seluruh uraian-uraian yang PEMOHON kemukakan di atas, maka PEMOHON memohon kepada Yang Terhormat Hakim Tunggal Praperadilan yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini agar menjatuhkan putusan sebagai berikut:

  1. Menerima dan mengabulkan permohonan Praperadilan PEMOHON untuk seluruhnya.
  2. Menyatakan Penetapan Tersangka Pemohon oleh Termohon sebagaimana Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tindak Pidana Korupsi”) Jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan Pasal 3 jo.
    Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) UU Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
  3. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor: PRINT297/Q1.13/Fd.2/06/2024, tanggal 19 Juni 2024 tentang dugaan Tindak Pidana Korupsi penyalahgunaan Keuangan Negara dalam Penggunaan Anggaran Perjalanan Dinas pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun Anggaran 2020 adalah tidak sah, cacat dan batal demi hukum,”pintanya.

Menyatakan Surat Penetapan Tersangka Nomor: B-816/Q1.13/Fd.2/06/2024, Tanggal 19 Juni 2024 telah menetapkan PEMOHON (PETRUS FATLOLON) sebagai Tersangka dalam dugaan Tindak pidana Korupsi perkara dugaan penyalahgunaan keuangan Negara dalam penggunaan anggaran perjalanan Dinas pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun Anggaran 2020 adalah tidak sah dan batal demi hukum.

“Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh TERMOHON yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka dan penyidikan, penahanan terhadap diri PEMOHON oleh TERMOHON,”imbuhnya.

Tak hanya disitu, Memulihkan segala hak hukum PEMOHON terhadap tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh TERMOHON, Menghukum TERMOHON untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara aquo.

“Demikian permohonan Praperadilan ini kami sampaikan, demi keadilan kami mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Hormat Kami,
Tim Penasehat Hukum Petrus Fatlolon, S.H., M.H,”pungkasnya.

Sekedar tahu, tim PH PF, yakni Denny Kailimang, S.H., M.H., Dr. Anthoni Hatane, S.H., M.H., Muhammad Ibnu Prabowo, S.H., Johannes Joshua Mulia, S.H., M.H., Kornelis Serin, S.H., M.H., Elia Ronny Sianressy, S.H., Alexander Januar Gaodilliam, S.H., Ziau UI Khasannul Khuluk Imtisnaen, S.H., M.H., Nugroho Tri Hartanto, S.H., Rohmat Esa Husein, S.H., Dr. Kelvin Keliduan, S.H., M.H., Horatio Nelson Sianressy, S.H., M.H., dan Kilyon Luturmas, S.H.,

Sidang Praperadilan kemudian dilanjutkan dengan jawaban termohon. Sementara, Rabu (24/7/2024) pengajuan bukti surat dan dokumen lainya, selanjutnya Kamis (25/7/2024) keterangan saksi ahli pemohon dan saksi termohon. Sedangkan, Jumat (26/7/2024) agenda kesimpulan majelis hakim tunggal, sementara Senin (29/7/2024) putusan hakim.(DM-04)

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *