Ragam
Bastori Fakta Regulasi & Catatan Kritis Soal Maluku Jadi Hilirisasi Sektor Perikanan

Oleh :
M. Saleh Wattiheluw
(Pemerhati Pembangunan & Kebijakan Publik)
Ketika Gubernur Maluku Terpilih Hendrik Lewerissa (HL) menyatakan sikap agar Pemerintah Pusat wujudkan Hilirisasi Sektor Perikanan Maluku, Pemerintah pusat tegakkan aturan Penangkapan Ikan Terukur (PIT), maka secara tidak langsung Gubernur telah memberikan intrufsi kepada Pemerintah Pusat.
Sikap yang sangat responsif tersebut disampaikan dalam acara pelantikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada Senin ( 27/01/2025) yang telah diekspos diberbagai media di Kota Ambon.
Sikap Gubernur HL tersebut sangat beralasan karena Maluku memiliki “potensi perikanan” yang sangat mumpuni dan mampu menyumbang sekitar 37 persen produksi ikan nasional. Tidaklah berlebihan jika penulis mengatakan bahwa “potensi sumberdaya perikanan Maluku” sejak lama sudah menjadi bahan percakapan dan diskusi di ruang kelas hampir di semua “perguruan tinggi maupun ormas-ormas”, hanya saja potensi perikanan Maluku belum maksimal berkontribusi untuk pembangunan Maluku, faktanya kondisi Maluku yang hingga kini masih tertinggal dalam berbagai aspek sosial & ekonomi.
Jika ditelaah faktor penyebab Maluku masih terpasung dengan kebijakan regulasi dan sepertinya selama ini kita (Maluku) sudah sadar terhadap faktor regulasi dimkasud hanya saja belum mampu berbuat atau bersikap protes dalam menuntut hak dan keadilan. Regulasi yang dapat dibaca misalnya terkait dengan DBH disektor perikanan yang belum berpihak kepada daerah penghasil, demikian juga kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT)
Sikap tegas Gubernur HL kiranya tidak saja soal Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT), akan tetapi harus juga terkait dengan Dana Bagi Hasil (DBH) perikanan yang selama menjadi problem bagi Maluku.
Problematika dana bagi hasil (DBH) perikanan yang diatur dalam UU nomor 01 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Antar Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah, secara kasat mata sangat merugikan daerah penghasil, sebagaimana tersurat pada pasal 119 ayat 1 dimana 80 persen dana bagi hasil (DBH) perikanan di bagi kepada kab/kota se Indonesia, sementara 20 persen ke pempus. Inilah problematika regulasi dan sebagai catatan kritis pertama untuk Pemda akang datang
Berikutnya adalah kebijakan Pempus terkait dengan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang telah diatur dengan PP nomor 11 tahun 2023, semakin menambah problema buat Daerah. Kebijakan PIT yang intinya mengatur soal zona penangkapan ikan, penangkapan ikan yang terkendali dan proporsional, masalah kelestarian sumber daya ikan tetap terjaga, selain itu kesejahateraan nelayan dan meningkatnya daya saing hasil perikanan. Penangkapan ikan pada tiga zona di wilayah Maluku yaitu zona 714, 715 dan 718 dangan jumlah kapal yang beroperasi 1.861 kapal dengan hasil produksi 912, 674 juta ton, pada zona-zona tersebut ada perputaran uang dengan nilai triliun rupiah (Usemahu Amarullah diskusi virtual 30 Pebruari 2023).
Bagi kita (Maluku) harus mengajukan beberapa pertanyaan kritis dan fundamental kepada Pemerintah Pusat cq Menteri KKP terkait dengan bagaimana implementasi dari subtansi penangkapan ikan yang terkendali dan proporsional, bagaimana kelestarian sumber daya ikan tetap terjaga dan kesejahateraan nelayan serta meningkatnya daya saing hasil perikanan. Bagaimana kebijakan PIT dalam konteks rencana pembangunan LIN-ANP, kecuali Gubernur HL membawa dalam prespektif lain sebagaimana pernyataan Gubernur HL yaitu “Hilirisasi Industri Perikanan Maluku” Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi tantangan dan satu resolusi bagi Pemda untuk disampaikan diperjuangkan kepada Pemerintah Pusat.
Kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) maupun dana bagi hasil (DBH) perikanan adalah dua hal yang berbeda dan inilah catatan kritis berikutnya bagi Pemda. Bilamana Pemerintah Daerah tidak cepat mengambil langka antisipasi maka boleh jadi Maluku sebagai salah satu daerah penghasil ikan terbesar akan terus merugikan bahkan jadi penonton. Apapun bentuk kebijakan Pempus dibidang perikanan sangat erat kaitan dengan sumber penerimaan negara dan sepanjang tidak merugikan daerah.
Bagi Maluku yang selama ini mengandalkan sektor perikanan sebagai leading sektor untuk mendorong PAD, akan tetapi fakta yang sangat ironis, dimana kontribusi Dinas Perikanan terhadap PAD hanya sekitar Rp 7.M lebih, angka ini sangat rendah artinya tidak sebanding dengan potensi sumber daya perikanan demikian dengan rasio jumlah armada kapal 1.861 yang beroperasi di perairan Maluku. Jadi jangan heran kalau ada bahasa bilang “tanggap di perairan Maluku bongkar di Sulawesi Tenggara atau Sulawesi Utara”.
Adalah tantangan bagi Gubernur (HL) mungkinkah kembali memperjuangkan rencana pembangunan LIN-ANP yang dicanangkan oleh Presiden SBY pada tahun 2010, kemudian oleh Presiden Joko Widodo “dijanjikan” akan dibangun. Suatu fakta yang tidak bisa dilupakan pada lima tahun lalu begitu gigih aleg DPR RI dapil Maluku ibu Saidah Uluputy dan bapak Abdullah Tuasikal melakukan intrupsi dengan suara lantang dihadapan Menteri KKP menagih janji bagaimana realisasi pembangunan LIN-ANP, hanya saja Menteri KKP dengan mudah menepis dengan alasan tidak uang .Sesungguhnya publik tahu proyek LIN-ANP tercatat sebagai salah satu PSN dan tertunda hanya karena Pemda ketika itu tidak tegas dalam memberikan kepastian tentang lokasi pembangunan LIN-ANP, padahal wilayah Maluku masih sangat luas.
Akankah di Era Presiden Prabowo Subiyanto proyek fundamental LIN-ANP dan atau “Hilirisasi Perikanan Maluku” bisa terwujud. Demikian penegakkan aturan PIT dan implementasi subtansinya serta ada sikap koreksi terhadap DBH perikanan. Mari kita dorong dan tunggu langka kongrit yang terukur dari Pemda dibawa komando Gubernur HL untuk Maluku pung bae.(**)
