Connect with us

Politik

Merepair Organisasi Pengawas Pemilu

Published

on

Oleh : Dr. M.J. Latuconsina,S.IP, MA
Staf Dosen Fisipol Universitas Pattimura

Organisasi merupakan setiap wujud persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja bersama serta secara formal tekait dalam rangka pencapaian suatu tujuan yang telah ditentukan dalam ikatan yang mana terdapat seseorang atau beberapa orang yang disebut atasan dan seorang atau sekelompok orang yang disebut dengan bawahan. Dalam konteks pencapaian suatu tujuan dari organisasi, tentu ditentukan oleh tipe dari organisasi itu sendiri.

Relevan dengan itu, Organisasi Pengawas Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia yakni, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dalam perspektif kenegaraan merupakan bagian dari cabang kekuasaan yudikatif, dimana merupakan lembaga quasi judicial atau semi peradilan dalam menyelesaikan masalah hukum pemilu pelanggaran administratif dan sengketa proses pemilu pada pelaksanaan Pemilu. Dalam prakteknya, Bawaslu telah memenuhi karakteristik sebagai lembaga negara yang mandiri atau independen berdasarkan dasar pembentukannya. (Maulana, 2020, Siagian 2003).

Organisasi Pengawas Pemilu di tanah air sampai dengan dibentuk menjadi Bawaslu baru pada 8 April 2008, dengan dasar hukum pembentukannya yakni, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, juga mengalami dinamika. Hal ini dilihat dari kelembagaan Pengawas Pemilu baru muncul pada pelaksanaan Pemilu tahun 1982, dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak Pemilu). Ini berarti sejak Pemilu tahun 1982 sampai dengan saat ini Organisasi Pengawas Pemilu memiliki usia yang tidak mudah lagi.

Berbagai tantangan yang dihadapi Organisasi Pengawas Pemilu yakni, Bawaslu yang menyangkut dengan tata kelolanya. Hal ini mencakup : a) kesiapan sumber daya meliputi sumber daya manusia (SDM), keuangan, inprastruktur organisasi baik itu yang tidak bergerak dan bergerak, b) implementasi pengawasan dan penegakkan hukum Pemilu, dan c) integritas serta independesi para aparatur di lembaga penyelenggara Pemilu. Dalam perspektif ini, maka tentunya terdapat korelasi antara suksesnya perhelatan demokrasi, dengan tata kelola organisasi pengawas Pemilu.

Ketiga aspek ini menjadi tantangan bagi tata kelola Organisasi Pengawas Pemilu. Pasalnya tanpa kesiapan sumber daya, implementasi pengawasan dan penegakkan hukum Pemilu, integritas maupun independensi para aparatur, maka tata kelola Organisasi Pengawas Pemilu tidak terlaksana dengan baik. Pada akhirnya akan berdampak pada penurunan kualitas demokrasi, yang berkaitan dengan Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di tanah air. Oleh karena itu, merupakan suatu kenicayaan untuk melakukan perubahan terhadap tata kelola Organisasi Pengawas Pemilu agar lebih baik. Sehingga bisa mensukseskan agenda demokrasi nasional dan lokal.

Terlepas dari itu, tidak hanya di Indonesia saja yang memiliki Organisasi Pengawas Pemilu, tapi negara-negara sahabat kita yang berada di Eropa bagian barat-selatan dan Amerika barat seperti di Inggris, Finlandia dan Equador juga memiliki Organisasi Pengawas Pemilu. Dari ketiga negara sahabat ini fungsi pengawasan Pemilu yang mirip dengan fungsi pengawasan Pemilu di negara kita Indonesia adalah Ekuador. Sedangkan Inggris dan Finlandia, fungsi pengawasan tidak dijalankan oleh lembaga khusus tersendiri.(Hukum Online,2025)

Hal ini menunjukan bahwa, Organisasi Pengawas Pemilu di negara-negara sahabat tersebut, disesuaikan dengan kebutuhan politik (political needs) setempat negara-negara dimaksud. Meskipun demikian, keberadaan Organisasi Pengawas Pemilu di negara-negara tersebut menunjukkan suatu kemajuan dari demokrasi, yang erat kaitannya dengan hukum. Pasalnya, demokrasi tanpa hukum tidak akan terbangun dengan baik, bahkan mungkin menimbulkan anarki, sebaliknya hukum tanpa sistem politik yang demokratis hanya akan menjadi hukum yang elitis dan represif (Mahfud MD, 1999)

Sebagaimana dipaparkan sebelumnya bahwa, berbagai tantangan telah dihadapi Organisasi Pengawas Pemilu dalam hal ini Bawaslu. Hal ini menyangkut dengan tata kelola Bawaslu, yang mencakup : a) kesiapan sumber daya meliputi sumber daya manusia (SDM), keuangan, inprastruktur organisasi baik itu yang tidak bergerak dan bergerak, b) implementasi pengawasan dan penegakkan hukum Pemilu, dan c) integritas serta independensi para aparatur di lembaga penyelenggara Pemilu. Ketiga aspek ini menjadi tantangan terhadap upaya merepair (perbaikan) tata kelola Organisasi Pengawas Pemilu.

Aspek terpenting bagi Organisasi Pengawas Pemilu dalam hal ini Bawaslu setiap tingkatan organisasinya dari Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota serta adhoc pada tingkat Kecamatan, Desa/Kelurahan sampai dengan Pengawas Tempat Pengumutan Suara (PTPS), yakni menyangkut dengan kesiapan sumber daya (resources), yang mencakup SDM, keuangan, inprastruktur organisasi baik itu yang tidak bergerak dan bergerak. Sumber daya menjadi aspek determinen bagi suksesnya kinerja Bawaslu dalam mengawasi dan menegakkan hukum Pemilu

Pertama, aspek SDM, dimana realitas menunjukkan kinerja Bawaslu setiap tingkatannya sangat tergantung kapasitas SDM pimpinan dan staf sekretariat. Hal ini berkolerasi dengan ekspetasi kontestan Pemilu/Pilkada maupun warga masyarakat terhadap kinerja Bawaslu dalam merespons berbagai dugaan pelanggaran Pidana Pemilu (Pidum), penanganan pelanggaran administrasi dan, penyelesaian sengketa proses Pemilu dengan mengedepankan asaz Penyelenggara Pemilu yang : mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, efesien.

Kedua, aspek keuangan, dimana keuangan menjadi aspek yang determinen dalam menggerakan roda organisasi Bawaslu. Fakta minimnya ketersediaan anggaran berdampak terhada eksistensi Bawaslu khususnya Bawaslu Kabupaten/Kota, adhoc pada tingkat Kecamatan. Pasalnya belum turunnya anggaran berdampak terhadap belum adanya sekretariat. Begitu pula berbagai tahapan Pemilu/Pilkada tidak bisa diawasi secara efektif dikarenakan tidak cukupnya anggaran. Bahkan berbagai bimbingan teknis, sosialisasi dan berbagai jenis kegiatannya lainnya baik secara internal dan eksternal tidak bisa dilaksanakan sesuai jadwalnya, dikarenakan belum adanya anggaran.

Ketiga, aspek inprastruktur organisasi baik itu yang tidak bergerak dan bergerak. Hal ini mencakup tersedianya Kantor Bawaslu Kabupaten/Kota dan ad hoc di tingkata kecamatan yang representative, yang terdiri kendaraan operasional, mobiler, ruang pimpinan, ruang staf, ruang rapat, ruang sidang, perpustakaan, dan berbagai fasilitas penting lainnya. Fakta menunjukan terkadang aspek inprastruktur organisasi baik itu yang tidak bergerak dan bergerak tidak terpenuhi dengan baik. Hal ini berdampak pada tidak optimalnya kinerja Bawaslu Kabupaten/Kota dan ad hock pada tingkat kecamatan.

Selanjutnya, salah satu aspek yang menjadi perhatian serius yakni, menyangkut dengan tantangan dari implementasi pengawasan dan penegakkan hukum Pemilu, yang diselenggarakan oleh Bawaslu per tingkatannya dari pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota sampai dengan ad hock di tingkat Kecamatan, Desa/Kelurahan serta PTPS. Hal ini sebagaimana tugas, wewenang, dan kewajiban dari Organisasi Pengawas Pemilu, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.

Sebagai Penyelenggara Pemilu Bawaslu tidak saja dituntut untuk memiliki komitmen dalam mengawasi Pemilu, tapi juga dituntut untuk menegakkan hukum Pemilu. Dua tugas yang tidak muda, dimana perlu optimalisasi secara kelembagaan untuk mengimplementasikannya. Melihat fenomena tersebut, sebenarnya banyak kontestan Pemilu/Pilkada, dan warga masyarakat memiliki ekspetasi yang besar, agar Bawaslu sebagai Organisasi Pengawas Pemilu per tingkatannya di tanah air dapat sukses mengimplementasi pengawasan, dan penegakkan hukum Pemilu.

Untuk mensukseskan kinerja dari Bawaslu tersebut, maka secara kelembagaan melakukan pemenuhan terhadap ketersediannya sumber daya. Hal ini diikuti Bawaslu dengan melakukan sinergi bersama stakeholder terkat seperti : Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kejaksaan, TNI/POLRI, KPU, Partai Politik, ORMAS, OKP, PT, Organisasi Keagamaan dan berbagai satakeholder strategis lainnya maupun warga masyarakat pada umumnya. Namun tentunya dalam implementasi pengawasan dan penegakkan hukum Pemilu, Bawaslu mengalami hambatan.

Hambatan juga terjadi dalam proses penanganan pelanggaran tindak pidana Pemilihan Umum, dari waktu yang cenderung singkat dengan proses yang cukup panjang dan rumit dan sering kali terjadi perbedaan pandangan atau tafsiran terhadap perkara tersebut menyebabkan banyak dugaan pelanggaran tindak pidana Pemilu yang tidak dapat dilanjutkan karena sudah terlewatnya atau habisnya waktu penanganan perkara yang sudah ditetapkan atau perkara tersebut sudah termasuk kedaluwarsa atau keterlambatan dalam penanganan perkara.

Jika hambatan-hambatan ini tidak diperbaiki atau ditangani maka akan terjadi ketidakadilan, karena keadilan yang terlambat sama dengan ketidakadilan. hal ini berarti hukum telah memberikan ketidakadilan, hal ini bertentangan dengan sifat hukum yaitu lex nemini operator iniquum, neminini facit injuriam yang berarti hukum tidak memberikan ketidakadilan kepada siapapun dan tidak melakukan kesalahan kepada siapapun.(Firmansyah, Wilde, 2024).

Kemudian aspek penting berikutnya yakni, menyangkut dengan integritas dan independensi para pimpinan serta aparatur di Organisasi Pengawas Pemilu menjadi sesuatu yang paling memiliki nilai yang sangat berarti. Pasalnya dengan integritas dan independensi yang dimiliki para pimpinan serta aparatur di Organisasi Pengawas Pemilu menunjukan ditegakkannya warwah dari Organisasi Pengawas Pemilu dihadapan publik, yakni terhadap kontestan Pemilu baik itu partai politik, perorangan dan warga masyarakat.

Menurut Abdullah (2019:22) integritas adalah pola pikir, sikap jiwa, dan gerakan hati nurani seseorang yang dimanifestasikan dalam ucapan, tindakan, dan perilaku : jujur, konsisten, berkomitmen, objektif, berani bersikap dan siap menerima risiko, serta disiplin dan bertanggung jawab. Sedangkan menurut Mulyadi (2013:26). independensi merupakan sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain.

Terkait dengan integritas para pimpinan serta aparatur di Organisasi Pengawas Pemilu khususnya Bawaslu, tentu perlu diprioritaskan. Hal ini menyangkut dengan pola pikir, sikap jiwa, dan gerakan hati nurani para pimpinan serta aparatur dijajaran Bawaslu yang dimanifestasikan dalam ucapan, tindakan, dan perilaku : jujur, konsisten, berkomitmen, objektif, berani bersikap dan siap menerima risiko, serta disiplin dan bertanggung jawab.

Begitu pula para pimpinan serta aparatur dijajaran Bawaslu harus memiliki independensi. Hal ini menyangkut dengan sikap mental para pimpinan serta aparatur dijajaran Bawaslu yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi mereka berpatokan kepada norma yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

Oleh karena itu, jika para pimpinan serta aparatur dijajaran Bawaslu memiliki integritas dan idependensi, maka akan mampu mendorong pelaksanaan Pemilu/Pilkada sesuai asaz Pemilu : Langsung, Umum, Bebas, Rahasia serta Jujur dan Adil (LUBER dan JURDIL). Hal ini merupakan ekspetasi dari para kontestan Pemilu/Pilkada dan warga masyarakat selalu konstituen Pemilu/Pilkada.

Terdapat kasus para pimpinan dari Organisasi Pengawas Pemilu, yang tidak memiliki ingeritas dan idenpendensi. Misalnya : di tahun 2023 lalu Pimpinan Bawaslu Kota Medan yang mengalami Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut), karena memeras calon anggota legislatif (Caleg). Kemudian di tahun 2024 lalu dua Pimpinan Bawaslu Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) diduga meminta uang sebesar Rp 1,34 M Caleg di kabupaten tersebut dengan menjanjikan empat ribu suara.(kompas.com, 2023, detik.com,2024).

Terlepas dari itu pada tingkat adhoc di level Panwas Kecamatan, Pengawas Desa/Kelurahan (PDK) dan PTS secara samar-samar kita mendengar begitu rapuhnya integritas dan independisi mereka. Terdapat sedikit diantara mereka yang menerima uang dan barang dari kontestan Pemilu/Pilkada baik itu secara langsung maupun melalui perantara. Namun hal itu baru mereka ungkapkan setelah tidak lagi mengembangan tanggungjawab sebagai Panwas Kecamatan, PDK dan PTS. Hal ini dimungkinan terjadi karena mereka adalah struktur ad hock yang hanya diadakan saat pelaksanaan Pemilu/Pilkada saja.

Sehingga sangat rawan mendapat menerima uang dan barang dari para kontestan Pemilu/Pilkada. baik itu secara langsung maupun melalui perantara. Pemberian uang dan barang oleh kontestan Pemilu/Pilkada tersebut, tentu tidaklah gratis. Diperkirakan Organisasi Pengawas Pemilu tingkat adhoc di level Panwas Kecamatan, PDK dan PTS tersebut, akan sengaja melonggarkan pengawasan, agar para kontestan Pemilu/Pilkada dapat bertindak curang dalam pelaksanaan agenda demokrasi nasional dan lokal tersebut, dengan target kemenangan yang tidak fair and play.(**)

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *