Connect with us

Politik

Dua Model Demokrasi Lawas Kita

Published

on

 Oleh : Dr. M.J. Latuconsina, S.IP,MA

Staf Dosen Fisipol, Universitas Pattimura

Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Selama 79 tahun sejak berdirinya Republik Indonesia (RI), ternyata masalah pokok yang dihadapi ialah bagaimana dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi disamping membina suatu kehidupan sosial dan politik yang demokratis. Permasalahan pokok ini masih menghinggapi negara ini dari zaman ke zaman, yang agak pelik untuk dituntaskan. Oleh karena itu, dibutuhkan kepempinan negara visioner, misioner, dan integratif untuk menuntaskan berbagai permasalahan pokok tersebut.

Pada pokoknya masalah ini berkisar pada penyusunan suatu sistem politik dimana kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nation building, dengan partisipasi rakyat seraya menghindarkan timbulnya dikatator, apakah diktator ini bersifat perorangan, partai, ataupun militer. Dipandang dari sudut perkembangan demokrasi sejarah di Indonesia dibagi dalam empat masa; (a) masa Republik Indonesia I (1945-1959), (b) masa Republik Indonesia II (1959-1965), (c) masa Republik Indonesia III (1965-1998) dan (d) masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang). (Budiardjo, 2008).

Dalam masa Republik I (1945-1959), merupakan masa Demokrasi (Konstitusional) yang menonjolkan peranan Parlemen serta partai-partai dan yang karena itu dapat dinamakan Demokrasi Parlementer. (Budiardjo, 2008). Dalam model demokrasi ini Kepala Negara adalah presiden, dan Kepala Pemerintahan adalah Perdana Menteri, dimana dalam menjalankan tugasnya bertangungajwab kepada Parlemen. Banyak kalangan menilai sisi positif model Parlementer, dimana lebih demokratis. Hal ini ditandai parlemen negara yang punya peran penting, rakyat memiliki keleluasaan untuk ikut campur urusan politik dan boleh membuat partai. Para anggota kabinet juga diperbolehkan mengkritik pemerintah jika tidak setuju terhadap sesuatu.(tirto.id,2023).

Sedangkan masa Republik Indonesia II (1959-1965), merupakan masa Demokrasi Terpimpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari konstitusional yang secara formal merupakan landasannya, dan menunjukan beberapa aspek demokrasi rakyat. (Budiardjo, 2008). Dalam model demokrasi ini menampilkan Presiden sebagai orang yang sangat berkuasa dalam menjalankan roda pemerintahan, dengan tampil sebagai Pimpinan Besar Revolusi, namun pertangungjawabannya tidak jelas kelembaga mana. Dua sistem demokrasi yang sama-sama menggunakan jargon demokrasi, tapi dalam praktiknya tidak-lah mirip, karena terdapat perbedaan yang sangat mencolok.

Lahirnya Demokrasi Parlementer. Proses awal dari lahirnya Demokrasi Parlementer (Liberal) dilatarbelakangi oleh bubarnya negara-negara federal, yang merupakan negara-negara yang terbentuk atas kompromi dengan Pemerintah Kerajaan Belanda. Dimana rata-rata negara-negara federal tersebut tidak bertahan lama, karena hanya dalam kurun waktu empat bulan satu persatu negara federal berjatuhan. Hanya Negara Indonesia Timur (NIT) dan Negara Sumatera Timur (NST), yang masih berdiri sampai dengan bulan April 1949.

Kemudian setelah perundingan yang berlaurut-larut antara Republik Indonesia Serikat (RIS) (yang mewakili kedua negara bagian itu) dan RI, parlemen RIS akhirnya menerima Mosi Integral Mohammad Natsir selaku Ketua Fraksi Partai Masyumi, yang disampaikan gagasannya tersebut pada 3 April 1950 pada sidang parlemen Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), agar Indonesia kembali ke dalam bentuk negara kesatuan. Presiden Sokarno kemudian mengumumkan pembubaran RIS. Indonesia kembali menjadi negara kesatuan pada 17 Agustus 1950. (Tempo, 2007, 2022).

Sehingga sejak tahun 1950 sampai dengan tahun 1959 sistem demokrasi yang diterapkan NKRI adalah, Demokrasi Parlementer (Liberal), dengan Kepala Negara adalah Presiden, dan Kepala Pemerintahan adalah Perdana Menteri, dimana Perdana Menteri dalam menjalankan tugasnya bertangungajwab kepada Parlemen. Sistem Demokrasi Parlementer yang diterapkan tersebut menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950 sebagai acuan yuridisnya.

Relevan dengan penerapan Demokrasi Parlementer tersebut, para tokoh Indonesia yang memercayai dibutuhkannya demokrasi parlementer di Indonesia di antaranya Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir. Menurut mereka, sistem pemerintahan tersebut mampu menciptakan partai politik yang bisa beradu pendapat dalam parlemen serta dapat menciptakan wujud demokrasi sesungguhnya, yakni dari rakyat, bagi rakyat, dan untuk rakyat.(tirto.id,2023).


Lahirnya Demokrasi Terpimpin. Cikal-bakal lahirnya demokrasi terpimpin dipicu oleh kemacetan yang dialami konstituente. Baik pendukung Pancasila dan Islam gagal memperoleh dua pertiga suara. Krisis politik makin berlanjut, yang ditandai dengan terjadinya Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), yang belum juga teratasi, disusul Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta), yang turut merebak di Sumatera dan Sulawesi. Pemegang tampuk kekuasaan pun semakin melihat perpecahan dan pengingkaran pada demokrasi parlementer. (Tempo, 2007).

Dalam situasi politik dan keamanan dalam negeri yang sangat memperihatinkan tersebut, maka pada bulan 5 Juli 1959 Parlemen dibubarkan dan Presiden Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden. Soekarno juga membubarkan konstituante yang ditugasi untuk menyusun Undang-Undang Dasar yang baru, dan sebaliknya menyatakan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945, dengan semboyan “Kembali ke UUD’ 45”.

Soekarno memperkuat tangan Angkatan Bersenjata dengan mengangkat para jenderal militer ke posisi-posisi yang penting. Partai Komunis Indonesia (PKI) pun menyambut “Demokrasi Terpimpin” Sukarno dengan hangat, dan anggapan bahwa PKI mempunyai mandat untuk persekutuan konsepsi yaitu antara Nasionalisme, agama (Islam) dan Komunisme, yang dinamakan NASAKOM (Nasionalisme,Komunisme,Agama). (http://wikipedia.org, 2009).

Demokrasi Terpimpin yang berlaku sejak tahu 1959 hingga tahun 1967 menampilkan Kepala Negara (Presiden) sebagai orang yang sangat berkuasa dalam menjalankan roda Pemerintahan, dengan tampil sebagai Pimpinan Besar Revolusi (Pembres). Berakhirnya Demokrasi Terpimpin di republik ini, seiring dengan tumbangnya kekuasaan rezim Orde Lama di tahun 1965, bubarnya PKI sekaligus menandai lahirnya rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, dengan jargon Demokrasi Pancasila, yang lahir sebagai kritik atas kegagalan rezim Orde Lama dalam menjalankan pembangunan di berbagai bidang.

Terkait dengan Demokrasi Terpimpin tersebut, menurut Ricklefs (2005) bahwa, Presiden berharap Demokrasi Terpimpin bisa mengentaskan berbagai krisis yang terjadi. Demokrasi Terpimpin merupakan suatu sistem yang tidak tetap, yang dilahirkan dari krisis dan terus menerus berubah sepanjang masa yang paling kacau dalam sejarah Indonesia sejak Revolusi. Demokrasi Terpimpin didominasi oleh kepribadian Soekarno walaupun pelaksanaannya dilakukan bersama pimpinan angkatan bersenjata.

Selanjutnya terdapat komparasi dari kedua Model Demokrasi. Baik Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin, memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun jika ditilik Demokrasi Terpimpin justru memiliki banyak kekurangan dibandingkan dengan Demokrasi Parlementer, karena cenderung menampilkan sosok Presiden yang ototiter, dengan tidak memiliki pertangungjawaban kinerja yang tidak jelas kepada MPR. Pasalnya MPR diangkat oleh Presiden bukan berdasarkan hasil Pemilu. Secara lebih rinci perbandingan Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin, dapat dilihat pada uraian berikut ini.

Adapun ciri dari Demokrasi Parlementer : 1) Presiden adalah kepala Negara dan Perdana Menteri adalah kepala pemerintahan ; 2) Perdana Menteri bertangungjawab kepada Parlemen ; Tidak adanya dominasi Presiden ; 3) Jatuhnya Kabinet Pemerintahan silih berganti : 4) Adanya Pemilihan Umum (Pemilu) Pemilu 1955 yang demokratis ; 5) Kebebasan partai politik dalam percaturan politik ; 6) Pengaruh komunis tidak terlampau besar ; dan 7) Pengaruh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tidak terlampau besar dalam percaturan politik.

Sedangkan adapun ciri dari Demokrasi Terpimpin : 1) Presiden adalah kepala Negara dan Kepala Pemerintahan ; 2) Presiden tidak jelas bertangungjawab kepada siapa ; 3) Adanya dominasi Presiden ; 4) Kabinet pemerintahan cenderung stabil ; 5) Tidak adanya Pemilu yang demokratis ; 6) Terbatasnya peran partai politik dalam percaturan politik : 7) Pengaruh komunis semakin besar ; dan 8) Pengaruh ABRI semakin besar dalam percaturan politik.

Sementara itu, kekurangan dari Demokrasi Parlementer jika dibandingkan dengan Demokrasi Terpimpin, adalah jatuh bangunnya Kabinet Pemerintahan selama enam kali. Hal ini tentu sangat menganggu pencapaian ekonomi, yang harus dicapai oleh republik ini pasca diproklamirkan sejak 17 Agustus 1945. Kondisi ini diperparah, dengan program pencapaian ekonomi, yang didesain oleh tiap kabinet berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.

Terlepas dari itu, deskripsi ini memiliki konklusi, dimana sejak tahun 1950 hingg tahun 1959 sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia adalah, Demokrasi Parlementer (Liberal), dengan Kepala Negara adalah Presiden, dan Kepala Pemerintahan adalah Perdana Menteri, dimana dalam menjalankan tugasnya bertangungajwab kepada Parlemen. Sedangkan demokrasi terpimpin yang berlaku sejak tahun 1959 sampai tahun 1965 menampilkan Kepala Negara (Presiden) sebagai orang yang sangat berkuasa dalam menjalankan roda pemerintahan.

Dua sistem demokrasi yang sama-sama menggunakan jargon demokrasi, namun dalam praktiknya tidak-lah mirip. Demokrasi Terpimpin yang dipraktikan tersebut, justru memiliki banyak kekurangan, karena cenderung menampilkan sosok Presiden yang otoriter, dengan tidak memiliki pertangungjawaban kinerja yang tidak jelas kepada lembaga tertinggi negara. Pasalnya pada era Demokrasi Terpimpin Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) justru diangkat oleh Presiden bukan berdasarkan hasil Pemilu.

Sementara itu, kekurangan dari Demokrasi Parlementer adalah jatuh bangunnya Kabinet Pemerintahan silih berganti selama enam kali. Hal ini tentu sangat menganggu pencapaian ekonomi, yang harus dicapai oleh republik ini pasca diproklamirkan sejak 17 Agustus 1945. Kondisi ini diperparah, dengan program pencapaian ekonomi, yang didesain oleh tiap Kabinet Pemerintahan berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Dampaknya tidak adanya kesinambungan yang rill dalam program pencapaian ekonomi dari tiap Kabinet Pemerintahan tersebut.(**)

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *