Connect with us

Politik

Ini Kata Pakar HTN Soal Gugatan Hasil Pilkada di MK

Published

on

DINAMIKAMALUKU.COM, AMBON-Tiga pasangan calon (paslon) bupati dan wakil bupati, resmi mengajukan permohonan gugatan Pilkada serentak 2020 di Mahkamah Konstitusi (MK). Berbagai dugaan pelanggaran di Pilkada Maluku Barat Daya, Aru, dan Seram Bagian Timur, menjadi materi gugatan para paslon di lembaga konstitusi itu.

Paslon yang mengajukan gugatan di MK, yakni Nikolas Kilikily-Desianus Orno, calon bupati dan wakil bupati MBD. Thimotius Kaidel-La Gani Karnaka, calon bupati dan wakil bupati Aru, dan Fachri Alkatiry-Arobi Kelian, calon bupati dan wakil bupati SBT.

Menyikapi gugatan tiga paslon di MK, Pakar Hukum Tata Negara (HTN), Sherlok Lekipiouw menilai, gugatan paslon ke MK, sebagai bentuk sarana konstitusi.”Jadi kita maknai sebagai upaya konstitusional. Biarkan pada akhirnya MK yang akan memutuskan diterima atau tidak diterima permohonan mereka,”kata Lekipiouw, kepada DINAMIKAMALUKU.COM, Senin (29/12).

Namun, akademisi fakultas hukum Unpatti Ambon ini mengigatkan, ada syarat dan prasyarat yang ditentukan oleh UU (Undang-Undang) soal selisih hasil Pilkada. “Karena ini menyangkut hasil perselisihan suara. Maka ada batasan yang ditentukan oleh peraturan MK, yakni selisih suara 2,5 persen. Kalau di Maluku, tiga permohonan Pilkada ke MK memang selisih jauh sekali,”ingatnya.

Kendati begitu, kata dia, tradisi di MK dalam beberapa kali putusan tidak saja fokus pada angka, karena secara prinsipil diatur oleh peraturan MK, sehingga dalam kedudukan mahkamah tidak terikat diangka saja.”Jadi tergantung konstruksi permohonan dari pasangan calon yang mengajukan permohonan gugatan di MK,”terangnya.

Dia mencontohkan, dukungan data soal dugaan pelanggaran Pilkada yang Terstruktur Sistimatis dan Masif (TSM). “Tergantung konstruksi permohonan itu. Jadi upaya hukum dari sisi hukum tata negara, perlu dihargai. Namun, dari perspektif hukum sesuatu yang tidak bisa lagi digugat di MK. Tapi ini sarana demokrasi dan sarana konstitusi,”jelasnya.

Soal dugaan pelanggaran Pilkada yang menjadi materi permohonan di MK, domain Bawaslu, dia mengaku, paslon tidak memahami secara kompetensi tahapan-tahapan Pilkada masuk pengawasan Bawaslu. “Mestinya tahapan-tahapan yang masuk dalam pengawasan sudah selesai,”tandasnya.

Hanya saja, ingat dia, dalam prakteknya hanya berpikir pragmatis, sehingga pelanggaran yang terjadi dibawah ke MK.” Praktek hukumnya seperti itu. Ini salah satu tantangan ditengah pembangunan demokrasi. Tapi, sistim hukum kita sudah komprehensif. Artinya, penyelenggara pemilu pada jalur dan tupoksi masing-masing,”paparnya.

Untuk itu, tambah dia, belajar dari pengalaman Pilkada 2020, mesti menjadi atensi semua pihak termasuk yang ingin berkonstestaai di Pilkada yang digelar.” Ini harus dilihat dari satu kesatuan mulai dari prosesnya, sehingga tidak melihatnya secara parsial. Setidaknya diselesaikan secara per tahapan. Pilkada 2020 mesti menjadi catatan pilkada mendatang. Nah, kedepan siapapun dia mesti memahami bahwa sistim dan kerangka hukum kita sudah berubah. Sehingga bisa memahami roh dari subtansi politik hukumnya,”bebernya.

Tujuanya agar bisa dipahami ranah Bawaslu atau administrasi pemilu dan mana ranah MK. “Jadi tidak bisa dicampur adukan. Ini khan problem pragmatis,”pungkasnya.(DM-01)

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *