Hukum
Klaim Petuanan Ada di Pelauw dan Ory, Warga Kariu Bersikukuh Kembali, Dimana Negara ?

DINAMIKAMALUKU.COM, AMBON-Aksi penyerangan terhadap warga negeri Kariu, oleh warga Pelauw, Kecamatan Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, 26 Januari 2022 lalu, menyebabkan rumah warga Kariu di bakar, sehingga mereka mengungsi di negeri Aboru.
Persoalanya, adalah saling klaim soal tapal batas antara Kariuw dengan dusun Ory, desa Pelauw. Akibatnya, pascah konflik dua desa tetangga itu, saling klaim kepemilikan lahan di daerah itu.
Bahkan, Pemerintah Kariu, mengklaim memiliki bukti hukum dan sejarah kalau memiliki lahan hingga di Pelauw dan Ory. “Penggiringah opini oleh sekelompok orang bahwa masyarakat hukum adat Kariu, tidak memiliki hak kepemilikan atas petuanan dan negerinya adalah upaya pemutarbalikan fakta dan pembohongan publik yang melanggar hak asasi manusia yang melekat pada masyarakat Kariu,”kata Sekretaris Negeri Kariu, Estevanus Leatomu, ketika membacakan pernyataan sikap Pemerintah Negeri Kariu, dengan judul “Eksistensi Petuanan Masyarakat Adat Negeri Kariu,” yang ditandatangani oleh Penjabat Pemerintah Negeri Kariu, Samuel Radjawane, ketika memberikan keterangan pers, Sabtu (12/3/2022).
Ditegaskan, petuanan dan negeri Kariu, benar-benar adalah sah milik masyarakat hukum adat negeri Kariu, sesuai pendaftaran tanah-tanah dati pada tahun 1823 silam yang kemudian disalin dalam register dati tahun 1956.”Salah satu fakta sejarah yang membuktikan tentang hak kepemilikan petuanan masyarakat hukum adat negeri Kariu, sejak masa Portugis, Belanda dan sampai sekarang adalah masih adanya sisa-sisa gedung Gereja lama Kariu, yang saat ini masih berdiri di pemukiman masyarakat Pelauw,”tuturnya.
Tak hanya itu, beberapa fakta hukum yang menegaskan hak kepemilikan tanah masyarakat hukum adat negeri Kariu, yakni berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Ambon, Nor 85/1968-Prdt. Tertanggal 17 Agustus 1970, sesuai putusan Pengadilan Tinggi Maluku, Nomor 60/1970/PT/.Prdt. Tertanggal 21 Marer 1973, putisan Mahkamah Agung RI Nomor 674/K/Sip/1974 Tertanggal 11 Januari 1997.”Diketahui bahwa Johanis Takaria (orang Kariu) telah menangkan gugatan terhadap hak kepemilikan bidang-bidang tanah yang ada di dalam pemukiman Pelauw sekarang ini. Semula dikuasai oleh Sukaha Latupono (orang Pelauw) dan Sup Alim Talaohu (orang Pelauw),”paparnya.
Buktinya, pada tahun 2010, lanjut dia, warga Pelauw, Rajak Sahubawa, membeli sebidang tanah milik ahli waris dari dua warga Kariu masing-masing Dominggus Radjawane, dan Frangki Radjawane di. Lokasi tanah yang dijual belikan di dalam pemukiman warga negeri Pelauw. “Bukti jual beli tanah dapat dilihat pada akta jual tanah,”tegasnya sambil menunjukan bukti akta penjualan tanah.
Begitu juga, surat-surat dati dimiliki masyatakat hukum adat Kariu, bahwa petuanan Ory, yang sekarang menjadi pemukiman masyarakat Dusyn Ory, adalah milik dati masyarakat hukum adat negeri Kariu, yang disebut dati Ory.”Berdasarkan register dati tahun 1823 yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat negeri Kariu, kami tegaskan bahwa petuanan “Uwa Rual” sudah sejak lama menjadi hak milik masyarakat Kariu,”ingatnya.
Ironisnya, catatan sejarah membuktikan bahwa sudah lama kelompok masyarakat Pelauw, melakukan perampasan dan penguasaan terhadap petuanan-petuanan masyarakat hukum adat negeri Kariu, dengan cara kekerasan dan bahkan perang sebagai berikut.
“Pada tahun 1933 terjadi perampasan dengan kekerasan atas tanah negeri lama Kariu (sekarang pemukiman Pelauw). Pada tahun 1935 terjadi perampasan Aman Teput (negeri lama Tupalessy). Pada tahun 1949 terjadi perampasan Amanahaur. Pada tahun 1953 terjadi perampasan Nimelrua (kelapa 2 yang disebut Hunimoki)
Pada tahun 1963 perampasan Lawalata, Waihala, Amanhuwe, Amalatu. Pada tahun 1957, Selasa Pariury ( orang Kariu) dibunuh karena yang bersangkutan adalah sosok yang selalu melarang, menghadang dan melawan pergerakan masyarakat Pelauw, yang ingin merebut dan menguasai petuanan masyarakat Kariu di dati Hunimoki milik masyarakat Kariu. Begitu juga pada tahun 1966 masyarakat Pelauw, melakukan perampasan terhadap tanah milik masyarakat hukum adat negeri Kariu di dati Lawata, Amahue, Kohomuan, dan Hatuwei,”paparnya.
Catatan sejarah juga membuktikan bahwa petuanan masyarakat negeri adat Kariu, yang saat ini berada dalam pemukiman Pelauw, pernah dijual dan dihibahkan baik kepada pemerintah maupun pribadi kepada Warga Pelauw. “Pada tahun 1976 hingga 1979 sebagian tanah milik warga Kariu di negeri lama yang berada di dalam pemukiman Pelauw, saat ini dijual oleh warga Kariu, untuk membangun kantor Polsek Pulai Haruku, kantor Camat Pulau Haruku, rumah dinas Camat dan Kantor PLN Pulau Haruku,”jelasnya.
Sementara lahan lainya dihibahkan untuk membangun SMP dengan sebutan SMP Negeri Pelauw-Kariu. “Bahwa berdasarkan fakta sejarah dan bukti hukum tentang hak dan kepemilikan tanah oleh masyarakat hukum adat negeri Kariu, sebagaimana dijelaskan diatas, maka kami tegaskan bahwa negeri Kariu beserta petuanan adalah sah milik negeri Kariu, sesuai hukum adat maupun UU yang berlaku di negara kesatuan Republik Indonesia dan bukan milik sekelompok masyarakat lain,”ingatnya.
Ditegaskan, oleh masyarakat hukum adat Kariu, memiliki hak atas negeri dan petuanannya, maka agenda pemulangan masyarakat hukum adat negeri Kariu ke negeri asalnya adalah wajib hukumnya dan tidak harus ditentukan oleh kelompok masyarakat maupun dan dengan syarat apapun.
“Dengan ini kami pemerintah negeri Kariu, meminta pemerintah Kabupaten Malteng, Pemerintah Provinsi Maluku, dan Pemerintah Pusat serta institusi Polri dan TNI untuk segera menetapkan agenda dan langkah-langkah strategi masyarakat hukum adat negeri Kariu ke negeri asalnya,”harapnya.
DESAKTANGKAP AKTOR INTELEKTUAL
Sementara itu, Ketua Tim Penanganan Tragedi Kariu, Pieter Pattiwaelapia menegaskan, selama ini aktor intelektual pelaku penyeragan negeri Kariu, belum diungkap oleh pihak Kepolisian.”Kami minta tindak cepat. Tetapi rekan pers sendiri tahu apa yang menjadi alasan Kepolisian bahwa sulit dapatkan saksi dan alat bukti. Apakah itu kekuatan manajemen fungsi intelijen pihak berwajib,”tanya dia.
Padahal, ingat dia, Kariu, jelas-jelas menjadi korban penyerangan dan pembakaran rumah oleh warga Pelauw. “Dari 26 Januari 2022 sampai saat ini belum ada penegakan hukum. Belum ada langkah hukum. Kami korban. Kami butuh keadilan sebagai warga negara termasuk wilayah hukum adat negeri Kariu,”terangnya.
Namun, tuding dia, negara sepertinya tunduk pada kekuatan kelompok tertentu. “Ini bukan konflik. Tanpa hujan tanpa angin tiba-tiba kami diserang dengan seluruh perlengkapan bersenjata. Ini tindak pidana murni. Polri harus menangani. Kami dikagetkan diserang disisi Barat dan Timur. Kami ditembak masyarakat kemudian mengungsi,”tuturnya.
RUMAH WARGA KARIU DIJARAH
Meski aparat Kepolisian menjaga rumah warga Kariu, yang mengungsi, masih terjadi penjarahan. “Perabot rumah warga sudah kosong. Aparat membiarkan rumah kami dijarah. Mereka leluasa menjarah barang-barang warga Kariu,”kesal Pattiwaelapia.
Penjabat Pemerintah Negeri Kariu, Semuel Pattiradjawane menambahkan, aparat Kepolisian yang bertugas di Kariuw, sudah ditarik.”Saya dapat informasi aparat Kepolisian tinggal 18 personil
Memang aturannya kalau sudah kondusif bisa ditarik, tapi barang-barang masyarakat Kariu sudah dijarah. Harta benda kami mesti dijaga. Tapi kenapa dibiarkan begitu saja untuk dijarah. Masak mereka leluasa jarah barang kami. Kami warga Kariu saja tidak bisa masuk di negeri kami, “pungkasnya.(DM-02)
