Connect with us

Ragam

Maluku dalam Catatan Akhir Tahun dan Solusi Pemikiran

Published

on

M. Saleh Wattiheluw
(pemerhati pembangunan)

PROLOG

Tulisan dengan tajuk diatas diangkat sebagai respon atas kondisi dan perkembangan Muluku hingga akhir tahun 2021 dan disaat yang sama DPRD Provimsi mensahkan Ranperda APBD Tahun Anggaran (TA) 2022 diawali dengan kata akhir fraksi-fraksi.

Mari kita telusuri point-point kata akhir fraksi DPRD yang dimuat salah satu media online, Kamis (15/12/2021), paling tidak terungkap sikap politik fraksi-fraksi intinya mulai dari harapan hingga kritik.

Poin-poin kata akhir fraksi antara lain; agar Pemda mengkaji potensi-potensi daerah yang belum menjadi peneriamaan, implementasi program prioritas, penguatan infrastruktur dasar untuk pembangunan ekonomi lokal agar mengurangi kemiskinan, perbaikan pasilitas pelayanan kesehatan disejumlah Rumah Sakit, didukung dengan pelayanan secara prefesional.

Perlu PEPRES, PP, UU terkait dengan mega proyek Lumbung Ikan Nasional (LIN) dan Ambon New Port, Maluku perlu perlakuan khusus. Sampai Desember 2021 penyerapan anggaran hanya mencapai 69,84% terendah di Indonesia, Pemerintah Provinsi dengan kenerja keuangann sangat terpuruk.

FAKTA OBJEKTIF

Pada sisi lain ada fakta data menurut BPS Maluku 2021, berbagai indikator makro ekonomi tentang kondisi Maluku dalam prespektif pembangunan tergambar kondisi semakin kurang menguntungkan atau belum menggembirakan.

Mari kita lihat berbagai indikator makro ekonomi yang dapat dijadikan sebagai ukuran kemajuan suatu daerah.
Angka kemiskinan masih berkisar 17,87 persen sekitar 321,81 ribu jiwa dari jumlah tersebut dihimpit dengan jumlah angka kemiskinan ekstrem 97.747 jiwa, rumah tangga miskin 21.110, kindisi ini menyebar 5 Kab yaitu Kabupaten Malra, SBT, KKT, MBD dan Malteng (baca data hasil rapat koord kemiskinan ekstrem 5 Kabupaten prioritas, 13 okbtober 2021)

Tingkat pengangguran terbuka 6,93% dari total angkatan kerja di Maluku 860.334 orang atau sekitar 59.621 orang menganggur, prosentasi angka penggangguran lebih tinggi dari rata-rata Nasional sebesar 6,49 persen, sementara pertumbuhan ekonomi Maluku hanya 4,17 persen

Catatan lain adalah Daya serap APBD hanya 39 persen sampai 18 Novemebr 2021 dan hingga Desember mencapai 68,84 persen, APBD TA 2022 menurun dari APBD TA 2021, APBD TA 2022 hanya “Rp 2,8 Triliun”

Proyek-proyek strategi berskala Nasional belum jelas seperti LIN dan Ambon New Fort, Blok Migas, RUU Daerah Kepulauan hingga kini semuanya belum jelas arahnya.

Semua catatan tersebut telah menjadi atensi dan sikap politik fraksi-fraksi DPRD, kecuali hal-hal penting yang tidak terbaca oleh fraksi-fraksi sebut saja alokasi dan penggunaan dana pinjaman Rp 700 Miliar, soal daya serap APBD menurun, soal RUU Daerah Kepulauan serta dukungan terhadap perjuangan Calon Daerah Otonom Baru (CDOB).

Bukankah makna pembangunan adalah suatu proses perubahan secara kontinu menuju perubahan atau kemajuan dimana kemajuan dapat diukur. Idialnya trend kemajuan harus naik atau menurun tergantung subtansinya. Misalnya PAD harus naik, demikian angka kemiskinan turun dari angka 17,99 persen tahun 2020 sekarang tahun 2021 turun menjadi 17,87persenberarti turun sebesar 0,12 persen.

Kondisi ini dengan berbagai indikator-makro ekonomi tersebut diatas menggambarkan kepada kita bahwa masih sangat berat dan sulit untuk percepatan pembangunan Maluku kedepan. Maluku sukar keluar dari problem sosial ekonomi manakala pemikiran dan kebijakan daerah kurang direspon oleh Pemerintah Pusat untuk memajukan daerah Maluku.

PERLU PERUBAHAN PEMIKIRAN

Kita sering mengikuti dan mendengar keluh kesah dari publik Maluku, tentang ketertinggalan Maluku, memang kita harus jujur, karena masih banyak fakta problem sosial ekonomi yang hingga kini tetap menghimpit Maluku sebagaimana disebut diatas.

Dalam perenungan pribadi bahwa untuk membangun Maluku tidak mudah, butuh kebijakan strategi dan loncatan-loncatan pemikiran serta harus didukung dengan menajemen pemerintahan yang lebih baik. Bagaimana memberdayakan potensi kekayaan alam sendiri menjadi sumber penerimaan daerah butuh inovasi pemikiran dan tentunya butuh dana besar, tidak hanya cukup dengan APBD Rp 3,2 Ttilyun pertahun.

Hingga kini Pemprov mungkin belum pernah kalkulasi perkiraan idial berapa sesungguhnya Nilai APBD untuk bangun Maluku apakah Rp 25 Trilyun atau Rp 35 Trilyin pertahun

Pemerintah Daerah Provimsi/Kabupaten/kota perlu rekonstruksi pemikiran terhadap kondisi objektif Maluku, merubah cara pandang terhadap konsep perencanaan pembangunan. Maluku berbasis pulau, memiliki rentang kendali yang panjang adalah masalah, namun dengan kepemilikan potensi kekayaan alam sangat banyak adalah kekuatan. Sangat diperlukan keterlibatan para pakar-pakar Perguruan Tinggi didaerah untuk ikut memberikan sumbang pikir dalam berbagai kajian akademik bersama Pemerintah Daerah

Jika boleh menduga bahwa selama ini secara inklusif Pemerintah Daerah terimbas dengan konsep Gugus Pulau, sehingga dalam perencanaan pembanganun selalu berorientasi parsial atau berbasis pulau tanpa melihat potensi suatu daerah akibatnya anggaran belanja pembangunan terkesan bagi rata untuk kab/kota yang kemudian kurang bermakna dan berdampak ekonomi karena nilainya relatif sangat kecil.

Mestinya perencanaan pembangunan berbasis kompetensi daerah sehingga intervensi APBD juga berbasis kompetensi daerah, artinya daerah yang memiliki potensi unggulan harus prioritas dibangun dalam bentuk Investasi Daerah secara mandiri atau kerjasama antar kab/kota/prov (sharing APBD prov/kab/kota). Investasi Daerah pada sektor-sektor unggulan secara bertahap.
Investasi diharapkan akan mampu memberikan dampak multiplyer efek ekonomi sosial, dengan demikian akan terjadi mobilitas faktor produksi antar daerah kab/kota dan mendatangkan PAD

Sekiranya Pemprov masih terimbas dengan pola pikir Konsep Gugus Pulau, maka sudah saatnya disesuikan dengan regulasi Undang-Undang. Lagi pula beberapa daerah/pulau di Maluku telah mekar jadi daerah otonomi Kab/kota, sehingga banyak variable/indikator sosial ekonomi telah mengalami perubahan sebut saja jumlah penduduk, demikian juga pemerintahan

Jika konsep Gugus Pulau dipahami sebagai satu konsep strategi pembangunan Maluku, maka mestinya Pemerintah Daerah mendorong Pemekaran DOB sebagai salah satu solusi Pembangunan Maluku. Sayangnya lembaga DPRD dalam kata akhir fraksi tidak satu fraksipun menyatakan sikap politik mendukung “Pemekaran CDOB” .

Sebetulnya siapapun Gubernur mestinya mendukung Keputusan Bersama Gubernur dan DPRD Prov tahun 2015, tentang 13 CDOB, Keputusan Bersama bernomor 15 Tahun 2015 dan nomor 126 tahun 2015.

Kecuali Gubernur dan DPRD bersikap lain yaitu mencabut keputusan bersama dimaksud. Ke 13 CDOB sudah berproses diPempus, ini adalah fakta aspirasi masyarakat yang harus diterima

Pemekaran Daerah adalah produk kebijakan Negara, satu ruang dan peluang yang disediakan oleh Negara lewat berbagai regulasi UU artinya bukan kepentingan kelompok atau pribadi, sepanjang satu wilayah/daerah memiliki potensi dan memenuhi persyaratan. Sekarang kita tunggu atensi lanjutan dari Pempus soal bagaimana pemberlakuan “Moratorium”

Pada titik inilah butuh peran dan campur tangan Pemerintah Daerah. Rasanya tidak ada yang rugi jika suatu daerah dimekarkan menjadi Daerah Otonomi Baru, justru sebaliknya sangat menguntungkan daerah dan masyarakat sendiri.

SOLUSI PEMBANGUNAN

Maluku memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat kaya, bahkan memiliki nilai historis sejak awal hadir ketika Indonesia Merdeka. Apakah memang kita belum mampu mengelola aset daerah atau karena APBD terbatas dan atau Maluku kurang mendapat perhatian dari Pemerintah Pusat.

Maluku butuh solusi dan kebijakan strategi dalam upaya mempercepatan pembangunan kedepan. Karena itu penulis ingin menyampaikan beberapa pemikiran yang mungkin juga sudah terpikirkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi. Pikiran dimaksud antara lain :

PERTAMA, perlu dilakukan survei pemetaan pontensi-potensi sumber daya alam yang belum digali dan dimanfaatkan secara maksimal sebagai sumber peneriaman. Demikian juga diperlukan survei soal angka kemiskinan Maluku apakah tingkat kemiskinan sebesar itu 17,87 persen, pada hal jumlah penduduk Maluku hanya 1,8 juta jiwa. Hal ini dimaksudkan agar kebijakan pembangunan daerah dalam upaya memaksimalkan potensi daerah dan menekan angka kemiskinan herus bertumpuh pada data.
Terhadap survei dimaksud kiranya Bapak Gubernur mengajak Universitas Pattimura, Unidar, UKIM serta Perguruan Tinggi Swasta lainnya untuk bekerjasama melaksanakannya.

KEDUA, perlu pro aktif perjuangan secara kolektif terhadap mega proyak LIN dan Ambon New Port bagaimana status regulasinya apakah bentuk KEPRES, Peraturan Pemerintah dan atau Undang-Undang. Nampaknya Maluku belum menjadi prioritas terkait pembangunan strategi berskala Nasional dan selama ini lebih pada janji-jenji serta cerita saja.

Terhadap perjungan mega proyek tersebut DPRD Prov sebagai lembaga wakil rakyat perlu dan tegas menyikapinya, tidak cukap hanya kata akhir fraksi-fraksi, akan tapi diperlukan sikap DPRD Prov atas nama rakyat Maluku untuk menyatakan pendapat dan sikap politik dalam Paripurna DPRD yang dihadiri para pemangku kepentingan daerah mulai dari pusat hingga kab/kota. Argumennya adalah bahwa LIN & Ambon New Port terkait dengan hajat hidup masyarakat Maluku, demikian juga soal keadilan dan keberpihakan Pemerintah Pusat

KETIGA, kedepan Pemda prov perlu membangun perencanaan terpadu dengan pola sharing APBD Prov & APBD Kab/Kota. Intervensi APBD pada sektor kemakmuran yang multi pada karya misalnya perkebunan dan industri pengelohaan. Selama ini nampaknya belum terpikirkan, padahal kita sadar APBD kecil dan sepanjang regulasi memungkin

KEEMPAT, adalah perjuangan pemekaran CDOB sebagai solusi pembangunan, sejalan dengan sikap Walikota Ambon beberapa waktu lalu memberikan dukungan untuk Jazirah Leihitu Salahutu dimekarkan menjadi satu Kabupaten yaitu “Kab Pulau Ambon”. Pernyataan dengan mengedepankan contoh Kab SBT, Kab Buru dan Kab SBB (media 17 November 2021).

Jika dianalogkan pernyataan dimaksud, ada pesan tersirat maupun tersurat bahwa pemekaran membawa dampak dan harapan positif untuk masyarakat setidaknya mampu memecahkan persoalan-persoalan kerakyatan ketimbang tidak mekar.

Rovik Avifudin anggota DPRD Prov; Maluku butuh INPRES dan DOB untuk maju, Pemrov harus dorong Pempus agar Moratorium dicabut (baca alaj satucmedia online lokal (21/11/21). Bahkan jauh sebelumnya secara politik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) lewat Muswil tahun 2020 sudah menyatakan sikap memberikan dukungan terhdap perjuangan Pemekaran ke 13 CDOB

Sikap dan atensi para politisi tersebut artinya mereka menyadari begitu pentingnya pemekaran DOB sebagai kebutuhan dan salah satu solusi pembamgunan Maluku untuk menjawab tantangan sosial ekonomi.

KELIMA, Pemerintah daerah prov/kab/kota harus memiliki satu pandangan kolektif untuk membangun satu perencaan terpadu sebagai upaya menekan angka kemiskinan tentunya perencanaan berbasis data hasil survei. Mengapa harus bersama karena angka kimiskinan Maluku sebesar 17,87 persen adalah angka kemiskinan kumulatif artinya tidak bisa hanya menjadi beban Pemprov sendiri harus menjadi tanggungjawab bersama kab/kota.

Selaku pemerhati hanya mampu secara objektif, akademik dan independen untuk mengungkapan berbagai data dan solusi pemikiran. Tulisan ini juga tidak bermaksud menilai Pemerintah Daerah, terserah bagaimana publik melihatnya.(***)

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *