Connect with us

Ragam

Mengenal Lebih Dekat LSPB “Markas” Pembentukan Karakter Calon Pendeta GPM di Desa Kamal

Published

on

FAKULTAS Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM), sudah menghasilkan ratusan hingga ribuan pendeta. Namun, ternyata selama ini ada salah satu lembaga yang membentuk karakter para calon pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM), sebelum mereka diwisuda dan mengabdi ditengah jemaat. Lantas, dimana lokasinya ?

Laporan : Semi Oni Yaky

Ceritanya, usai saya mendampingi panitia khusus bentukan DPRD Provinsi Maluku, terkait pengungsi Pelauw, Kecamatan Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, bertemu Pemda dan DPRD Malteng, Selasa (15/2/2022), Ketua DPRD Provinsi Maluku, Lucky Wattimury, yang mendampingi Pansus mengajak saya lintas darat ke Seram Bagian Barat. Di benak saya kami akan menumpang Kapal Feri terakhir dari Waipirit ke Hunimua menuju Kota Ambon atau kami bermalam di salah satu penginapan di Kairatu, selanjutnya, Rabu (16/2/2022) pagi kami menyeberang dari Waipirit ke Hunimua.

Namun, ditengah perjalanan Wattimury, yang juga dosen Fakultas Teologi UKIM, mengajak saya bersama Remon (Sopir) dan Domi Pattileuw(ajudan III Wattimury) mengajak kami ke Desa Kamal. “Disana Pak Lucky, bertemu mahasiswa. Disana sangat alamiah dan ada mistik”kata Remon sambil mengemudi mobil dinas Ketua DPRD Provinsi Maluku.

Wattimury menambahkan, biasanya mengatur waktu sebagai Ketua DPRD Maluku, politisi PDIP dan juga mengajar di Fakultas Teologi.”Saya sudah mengajar di UKIM sejak 1980-an. Memang sebagai wakil rakyat atur waktu untuk mengajar. Selain mengajar di kampus UKIM Talake, saya sering ke Kamal untuk ikut membentuk karakter calon pendeta. Nanti bung tiba disana lihat sendiri. Biasanya mahasiswa takut kalau saya disana. Tapi mereka kangen kalau saya belum ke Kamal ,”tutur Wattimury.

Dibenak saya, selama ini belum mengetahui ada kampus UKIM lain selain di Talake, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon. Kurang lebih perjalanan lintas darat kurang lebih 2 jam, kami tiba di lokasi, sekira pukul 20. 30 WIT. Ternyata di sana seperti sekolah atau kampus. Adalah Lembaga Sosial Pengalaman Berteologi (LSPB)  di Desa Kamal, Kecamatan Kairatu Barat, Kabupaten SBB.

Tampak diruang pertemuan, penanggungjawab LSPB yang juga dosen Teologi, Pdt Veki Untailawan, sementara mengajar 14 mahasiswa Fakultas Teologi, yang baru saja tiba dari Kota Ambon, Selasa (15/2/2022) siang. Remon dan Domi, biasanya menemani Wattimury, langsung menuju gedung dosen dan tamu menginap. Mereka sudah terbiasa ke lokasi itu dan akrab dengan penjaga LSPB.

Sementara saya masih penasaran. Saya sesekali melirik Untailawan sementara mengajar. Para mahasiswa sangat serius mendengar pendeta senior asal Pulau Marsela, Kabupaten Maluku Barat Daya itu. Sedangkan Wattimury, sementara memainkan hand Phone pintarnya di bawah pohon  Ketapang di depan pintu masuk LSPB.

Usai Untailawan mengajar, Wattimury memperkenalkan nama dan daerah asal saya.”Dia ini dari Tomra, kata Wattimury. “Adik di Tomra Weik berapa. Saya di Wik 2,”kata saya menjawab pertanyaan Untailawan.

Untailawan menuturkan sudah mengelilingi pulau Letti. Bahkan, tutur dia, dirinya pernah membuka sidang Klasis di jemaat Nuwewang.”Ketika itu saya naik pesawat ke Kisar. Jemaat disana menjemput saya. Waktu itu tengah malam kami berangkat ke Kisar menuju Letti. Saya dijemput pakai perahu belang. Kami tiba di Letti pagi,”tuturnya.

Sekira pukul 23.30 WIT, kami pun memutuskan untuk tidur. Wattimury dan Untailawan menuju kamar mereka masing-masing. Sementara saya menuju ke kamar yang sudah ditempati oleh Remon dan Domi. Remon belum tidur. Sopir yang selalu setia mengantar Wattimury sejak masih menjabat anggota DPRD Kota Ambon itu masih asik main handphone Phone pintarnya. Sementara Domi sudah tertidur pulas.

Saya sangat canggung ketika masuk kamar yang begitu luas. Di kamar itu tempat tidur satu badan lima buah. Kamar itu sepertinya disiapkan untuk menampung para tamu atau ada kegiatan kampus. Apalagi, Remon bercerita biasanya ada maklum halus
“menganggu”.

Sekira pukul 05.30 WIT saya dengar di luar, Wattimury sudah mengumpulkan para mahasiswa untuk olah raga. Wattimury mengajak mereka berteriak dan menjaga kekompakan.”Ini karena di jemaat tidak ada pengeras suara. Jadi berlatih berteriak sekerasnya,”kata Wattimury ketika memandu mahasiswa berolah raga.

Tak hanya itu, Wattimury, memandu para mahasiswa agar saling berangkulan atau berpegangan  tangan.”Ini tujuanya agar membangun kebersamaan dan kerja kelompok dan merasakan perasaan teman lain,”tandas Wattimury.

Selanjutnya, usai sarapan pagi, Wattimury, melantik  pengurus mahasiswa selama di LSPB. Satu per satu dari mereka disiram air.  “Setelah ini saya balik ke Ambon. Kamis atau Jumat saya sudah kembali. Banyak yang saya berikan kepada kalian semua,”tegasnya.

Untailawan menuturkan, yang memprakarsai LSPB berdiri adalah  almarhun Pdt Wem David, tahun 1980 lalu.”Kami ini angkatan pertama di LSPB. Saya, mantan Ketua Sinode GPM Werunussa, Nick Sedubun dan lainnya. LSPB dibangun atas prakarsa almarhum Pak Wem Davids. Tugunya dibuat Pak Lucky Wattimury dan mahasiswa. Karena beliau punya ide bangun LSPB ini,”tuturnya.

Dikatakan, latar belakang di bangun LSPB karena  jemaat GPM banyak  dipedesaan. “Tidak hanya pendeta berhotbah dan melayani di mimbar dan melayani kateksasi. Tapi pendeta mampu meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi politik di jemaat. Karena ini di sebut LSPB, maksudnya disini masalah-masalah sosial, ekonomi dijadikan sebagai dasar, untuk membangun refleksi Teologi ,”jelasnya mantan Sekretaris Umum Sinode GPM itu.

Teologi, kata dia, bukan saja teori, tetapi dalam refleksi atau praktek hidup. “Jadi mahasiswa Teologi kesini yang sudah semester akhir. Nanti, setelah kembali mereka buat skripsi. Jadi disini mereka mempraktekan ilmu berteologi  dan ilmu penunjang Teologi disini. Jadi Teologi itu bukan sekedar ilmu tapi Teologi itu dihidupkan,”jelasnya.

Dikatakan, pihaknya fokus pada pembentukan karakter di LSPB. ”Jadi bagaimana Teologi itu nyata dalam hidup mahasiswa. Mereka membangun kebersamaan satu sama yang lain. Mereka disini juga melakukan pembinaan spiritualitas untuk masalah umat. Jadi mahasiswa dilatih disini agar selalu peka terhadap persoalan masyarakat dan jemaat,”bebernya.

Tak hanya itu, mahasiswa Teologi  dituntut untuk bercocok tanam di lokasi LSPB. Dia mengku hasil kebun yang mereka makan (petugas dan ubi kayu), adalah hasil perkebunan mahasiswa sebelumnya. “Jadi mereka merasakan bagaimana persoalan ekonomi sosial ditengah masyarakat. Kita tidak paksakan mereka berubah. Tapi ketika mereka turun dijemaat. Jadi minimal dia punya gambaran dan bisa menganalisis persoalan yang dihadapi jemaat. Jadi bukan pembinaan spiritual saja,. Nah, nanti mereka tanam petugas atau kasbi agar mahasiswa yang nanti kesini mereka bisa makan, “sebutnya.

Setelah itu, lanjut dia,  mereka akan turun di jemaat. Kali ini mahasiswa di LSPB turun di jemaat Taniwel.”Mereka di sana 1, 5 bulan. Mereka 14 orang jadi bisa dibagi 3 jemaat. Jadi mereka praktek pelayanan. Ini pengabdian kepada masyarakat atau jemaat. Setidaknya kehadiran mahasiswa di jemaat mereka bisa membantu,”terangnya.

Dia menambahkan, selama mereka studi 3 tahun teori di kelas. Selanjutnya mereka praktek di LSPB dan turun ke jemaat.”Jadi ini namanya praktek. Jadi bukan pimpinan ibadah, tapi teologia jadi karakter sebagai seorang calon pendeta,”bebernya.

Lantas, selama mereka di LSPB, apakah tidur di lokasi tersebut.”Memang ada gedung khusus untuk dosen dan tamu. Mereka tinggal di rumah-rumah dilokasi ini yang biasa
disebut walang. “Mereka tidur diatas papan. Mereka hanya disuruh bawa tikar. Tidak boleh bawa kasur. Itu refleksinya masyarakat bawah yang, hidupnya seperti itu. Jadi mereka mengalami, seperti suasana di pedesaan,”pungkasnya.(***)

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *