Ragam
Menolak Modernitas

Oleh : Dr.M.J. Latuconsina,S.IP,MA
Staf Dosen Fisipol, Universitas Pattimura
“Modernisasi pada akhirnya memang suatu permainan kekuatan. Ada yang tergusur, ada yang menggusur. Ada yang menang, ada yang telantar lemah..” Kata-kata ini merupakan qoutes dari Goenawan Mohamad, seorang budayawan Indonesia, yang populer melalui esay-esay politik bernuansa filosofis di Majalan Tempo. Ungkapannya itu, merupakan fenomena kehidupan orang-orang kecil dari aspek sosial, budaya, hukum, dan politik. Dimana, mereka seringkali terpenggirkan atas nama modernitas. Padahal modernitas bukan jawaban untuk ketenangan kehidupan mereka, melainkan kekolotan-lah mereka menemukan ketenangan dalam kehidupan mereka.
Kebanyakan persepsi kita selaku khalayak publik memandang modernitas sebagai suatu kemajuan zaman, dalam berbagai bidang yang strategis dan vital, yang dicapai secara evolusi maupun secara revolusi. Dampaknya dirasakan secara luas oleh khalayak public. Kondisi ini membedakannya dengan era-era sebelumnya, yang dirasakan ketinggalan zaman. Sehingga bagi khalayak public yang belum bisa menyesuaikan kehidupannya dengan kemajuan zaman, akan dicap sebagai kolot. Kekolotan tersebut sebenarnya bukan kondisi yang enggan beradaptasi dengan kemajuan zaman.
Melainkan semata-mata karena ada sebagian besar khalayak publik, yang masih mendiami wilayah-wilayah yang terpencil. Sehingga memiliki keterbatasan dalam merasakan dan menikmati kemajuan zaman. Satu-satunya jalan agar mereka dapat merasakan kemajuan zaman yakni, dengan membuka keterisolasian dari aspek perhubungan (darat,laut,udara), dan telekomunikasi. Hal ini harus didorong secara internal dan eksternal secara serius dari lingkungan orang-orang yang terpencil tersebut. Jika tidak, maka tentunya keklasikan akan dirasakan sepanjang masa.
Ketinggalan zaman tersebut kebanyakan dialami oleh mereka yang mendiami wilayah pedalaman jauh dari warga masyarakat. Mereka ini banyak tersebar hampir diseluruh belahan dunia, mulai dari Eropa, Amerika, Asia, Afrika, sampai dengan Australia. Meskipun zaman sudah begitu maju, tapi sebagian dari mereka masih menjalani kehidupan dengan nilai-nilai konserfatis. Ada sebagian dari mereka yang enggan secara terbuka mengenal kemajuan zaman. Mereka lebih memilih dengan identitas ketradsionalannya, ketimbang mengenal kemajuan zaman, yang akan meruntukan identitas kebudayaan mereka sejak turun temurun.
Misalnya saja orang Sami adalah suku asli di daratan Eropa bagian utara, yang mendiami Noewegia, Swedia, Finlandia, dan Rusia. Mata pencahriannya berburu, mencari ikan dan gembala. Ada juga orang Mapuche di daratan Amerika bagian selatan, yang mendiami Argentina dan Chili. Mata pencahriannya bertani, berburu, tenun, dan pengrajin perak. Begitu juga ada orang Khmer di daratan Asia bagian tenggara, yang mendiami Vietnam dan Thailand. Mata pencarainnya bertani, mencari ikan, mengumpulkan kayu, buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan obat-obatan.
Sedangkan ada juga orang Afar di daratan Afrika bagian timur, yang mendiami Etiopia, Eritrea, dan Djibouti. Mata pencahrian mereka penggembala ternak, khususnya unta, kambing, domba, dan sapi. Mereka juga adalah pengrajin tangan dari kulit unta dan bulu domba. Sementara itu ada orang Aborigin di Australia. Mata pencahrian mereka berburu, mengumpulkan makanan, seperti ikan, kanguru, dan tumbuhan liar. Dari waktu ke waktu orang-orang yang hidup diwilayah terpencil ini, tidak mengalami modernitas dari sisi mata pencariannya, melainkan mengalami stagnasi mata pencariannya.
Masih banyak lagi warga dunia terpingirkan, yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang menempati benua-benua besar dan kecil tersebut. Dimana jumlahnya secara keseluruhan diperkiran mencapai 100 suku terasing di dunia, yang belum atau sangat sedikit kontak dengan dunia luar. Ini mengindikasikan secara jelas bahwa, mereka benar-benar menolak untuk bersentuhan langsung dengan modernitas. Meskipun secara rill dunia sudah mengalami lonjakan kemajuan teknologi yang impresif, tapi mereka lebih memilih untuk beraktifitas dengan keterbelekangan, yang diidentikan dengan kekolotan tersebut.
Beranjak dari orang-orang yang masih hidup dalam kondisi tradisionalisme tersebut, tentunya modernitas merupakan efesiensi dari sisi waktu, yang relevan dengan aktifitas manusia, dimana berdampak pada efektifitas tujuan manusia. Hal ini merupakan hakekat dari modernitas, yang hadir sebagai pertanda dari kemajuan zaman, dimana manusia menghendaki sesuatu yang praktis, tanpa perlu bersusah paya layaknya zaman lampau. Oleh karena itu, sesuatu yang tidak efesien dan efektif dikatakan sebagai ketinggalan zaman.
Dalam konteks ini, berbagai revolusi teknologi sebagai momentum impresif dari modernitas. Hal ini dapat dilihat khususnya dalam kemajuan teknologi telekomunikasi, dimana dahulunya disekitar tahun 1990-an, khalayak public di level global masih menggunakan telepon yang berbasis kabel dan radio. Dalam dinamiknya khalayak public di level global sudah menggunakan telepon berbasis satelit dan kabel bawah laut, yang efesien dan efektif dalam penggunaannya.
Penggunaan telepon berbasis satelit dan kabel bawah laut sangat memudahkan manusia bukan hanya untuk menelpon saja, tapi juga dapat dimanfaatkan untuk mengirimkan surat elektronik (electronic mail), dan dokumen berbasis digital dengan kapasitas yang besar. Hal ini tentu lebih baik daripada mekanisme pengiriman dokumen manual melalui pos atau ekspedisi, dimana membutuhkan waktu berhari-hari untuk mengirimkannya pada tingkat nasional, regional dan inernasional, karena menggunakan pesawat, kereta api, truck, dan kapal laut.
Kemajuan dari teknologi komunikasi tersebut berdampak pada pasar global. Para khalayak public dalam aktifitas jaul beli barang, tidak lagi mengandalkan pasar konvensional, yang mempertemukan langsung pedagang dan pembeli di toko, minimarket, supermarket dan hipermarket. Namun mereka terhubung oleh perangkat internet, untuk berbelanja melalui lapak-lapak online. Proses pembayaran barang yang dibeli pun hanya beberapa detik saja, karena menggunakan transasksi pembayaran berbasis online juga. Dalam perspektif ini, yang berlaku adalah trust, yang menjadi modal sosial dalam interaksi khalayak dalam dagang dunia maya yang tidak saling kenal-mengenal secara dekat tersebut.
Dalam transportasi udara global dahulunya di tahun 1950 an hingga tahun 1990-an masih banyak memakai pesawat baling-baling, dengan mengunakan mesin resiprokal, dan mesin turbin gas (turboprop). Dalam perkembangannya transportasi udara sampai dengan tahun 2000-an sudah menggunakan mesin jet, yang di produksi Boing dari Amerika dan Airbus dari Eropa. Namun mendahuinya terdapat pesawat supersonik Concorde buatan Perancis dan Inggris, yang menggunakan mesin turbojet, dengan kecepatan jelajah 2,04 Mach. Dioperasikan perdana di tahun 1969 lampau, dimana perjalanan menggunakan Concorde lebih cepat dari pesawat produksi Boing dan Airbus.
Dampaknya konektivitas warga dunia, yang paling jauh hanya sehari saja, dibandingkan dengan menggunakan kapal laut seperti di masa lampau, dimana bisa berhari hari sampai dengan berbulan-bulan mengarungi laut, yang sangat mejenuhkan warga dunia. Begitu pula dahulunya warga dunia menggunakan kereta api bermesin batubara dan diesel, saat ini dengan kemajuan teknologi bisa menggunakan kereta api cepat. Sehingga koneksivitas antar kota dalam satu negara, dan antar kota dengan negara tetangga atau sahabat hanya dalam beberapa jam saja.
Hal ini dapat dilihat pada : TGV (Train à Grande Vitesse) Perancis, Frecce Italia AVE (Alta Velocidad Española) Spanyol, Sapsan Rusia, Shinkansen Jepang, High-Speed Rail (HSR) Cina, Korea Train eXpress (KTX) Korea Selatan, Whoosh Indonedia, Acela Ekspress Amerika Serikat, Al-Boraq di Maroko, Lagos Rail Mass Nigeria. Diluar itu terdapat juga api cepat dari berbagai negara lainnya di Eropa, Asia, Amerika, dan Afrika. Berbagai kereta api cepat tersebut memiliki kecepatan dari 200 km/jam, 300, km/jam, 310 km/jam, 320 km/jam hingga 350 km/jam.
Diluar transportasi udara, darat, dan transportasi laut tersebut, terdapat juga revolusi teknologi dalam bidang energi listrik. Dahulunya dilevel global warga dunia hanya mengenal energi listrik tenaga diesel, yang lazim dikenal di tanah air dengan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Dalam perkembangannya, revolusi energi listrik sudah berbagai varian, mulai dari listrik tenaga surya, angin, gelombang laut, panas bumi dan yang paling fenomenal adalah listrik tenaga nuklir. Pasalnya, meskipun memiliki resiko tinggi bagi manusia terkena radiasi jika mengalami kebocoran, namun menghasilkan listrik dengan emisi karbon rendah, memiliki kapasitas pembangkitan yang tinggi, dan biaya operasional yang relatif rendah.
Selaku warga dunia, memiliki pilihan dalam menggunakan berbagai varian energi listrik yang canggih tersebut. Hal ini disesuaikan dengan kapasitas penggunaannya, dan efektifitas penggunaan teknologinya. Kondisi ini memperlihatkan kepada kita bahwa, berbagai varian energi litrik tersebut, semakin memudahkan warga dunia untuk menggunakannya, yang sesuai dengan kebermanfatannya, dimana tidak lagi mengandalkan pada tenaga diesel yang berbasis bahan bakar minyak (BBM), yang tidak ramah dengan lingkungan. Sebab buangan BBM yang digunakan untuk mengidupi mesin listrik bertenaga diesel tersebut adalah limbah, yang tidak ramah dengan lingkuan disekitarnya.
Dalam perpektif itu, maka kemajuan teknologi yang relevan dengan modernitas yang menghinggapi warga dunia, dimana terdapat sebagian besar yang menerimanya, dengan alasan efesiensi dan efektifitas yang mampu mensupport aktifitas mereka. Namun sebagian besar juga enggan menerima modernitas, dengan alasan menjaga tradiosionalisme mereka. Hal ini menunjukan secara gamblang kepada kita bahwa, mereka memang benar-benar menolak modernitas dengan alasan apapun.
Relevan dengan itu, Indira Gandhi, Perdana Menteri India periode 1966-1977 mengatakan bahwa, “untuk menjadi modern kebanyakan orang malah sibuk memerhatikan gaya berpakaian, cara berbicara, kebiasaan atau perilaku tertentu. Padahal bukan itu yang disebut modern. Hal-hal seperti itu adalah bagian yang sangat dangkal dari modernitas”. Pernyataan Indira Gandhi tersebut, sebenarnya merupakan penolakan terhadap modernitas. Atas dasar itu, tentunya penolakan warga dunia terhadap modernitas harus dilihat dari sisi objektif, dimana bukan tentang efesiensi dan efektifitas semata dalam memudahkan aktivitas keseharian mereka.
Akan tetapi ini tentang idealisme identitas ketradisionalan, yang dipertahankan mereka secara konsisten di tengah dinamika kemajuan zaman, yang merupakan legacy dari orang-orang terdahulunya. Mereka ada lantaran nilai-nilai tradisional yang mereka pertahankan dari gerusan modernitas. Sebaliknya, mereka akan tiada tatkala tidak mampu lagi mempertahankan nilai-nilai tradisional yang mereka pertahankan dari gerusan modernitas. Oleh karena kekolotan, ketradisionalitas, kekonserfatisan yang mereka anut, tetap merupakan keniscayaan dalam menghadang gelombang modernitas.(**)
