Hukum
PENGHENTIAN PENYELIDIKAN DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI DPRD KOTA AMBON CACAT PROSEDUR (UN-PROCUDURAL)

Oleh : Ruswan Latuconsina, SH.,MH
(Praktisi Hukum; Lawyer / Advokat)
INDONESIA adalah negara hukum (rule of law) sebagaimana pasal 1 ayat 3 UndangUndang Dasar 1945, yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Hal ini mempertegas kepada seluruh elemen anak bangsa bahwa negara kita adalah negara
hukum, sehingga pemerintah dan rakyat wajib untuk menaati aturan hukum.
Segala aspek kehidupan dalam kemasyarakatan, kenegaraan dan pemerintahan serta dalam
proses penegakan hukum harus senantiasa berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Amanat UUD 1945 tersebut harusnya pula dapat diinternalisasikan pada tubuh KEJARI
Ambon dalam proses penegakan hukum; yang dimana saat ini publik Maluku tengah
dikejutkan dengan suatu langkah berani yang diambil oleh Kepala Kejaksaan Negeri
(KEJARI) Ambon Dian Fris Nalle, dengan menghentikan proses penyelidikan atas
kejahatan luar biasa (Exstra-ordinary crime) yakni: dugaan tindak pidana korupsi di DPRD kota Ambon tahun anggaran 2020, yang berdasarkan hasil temuan audit Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) Maluku merugikan keuangan negara senilai Rp.5,3 Miyar, dimana Rp.1,5 Milyar tidak dapat dipertanggung jawabkan secara wajar.
Normatifnya, hukum acara atau prosedur proses penanganan tindak pidana korupsi pada ruang lingkup Kejaksaan Negeri (KEJARI) Ambon harusnya secara konsisten merujuk pada UU. No. 18 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) dan UU No. 20 tahun 2001 perubahan atas UU. No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) serta hasil “Nota Kesepakatan Bersama” 4 (empat) lembaga negara yakni : Mahkamah Agung (MA), Kejaksaan Agung (KEJAGUNG), Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), dan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (MENKOPOLHUKAM) tertanggal 17 Oktober 2012 tentang pelaksanaan penerapan dan penyesuaian penanganan perkara
pidana, sebagai hirarki hukum acara/ atau prosudur dalam penanganannya.
Kontraproduktif atas prosedur hukum acara dalam penanganan perkara dugaan korupsi DPRD Kota Ambon oleh KEJARI Ambon telah terlihat sejak awal penanganan perkara
dimulai, dimana menurut pasal 1 ayat 1 dan 2 KUHAP tahapan penyelidikan
seharusnya sebagai langkah awal berdasarkan rujukan temuan audit BPK untuk mengungkapkan benar adanya suatu peristiwa tindak pidana, sehingga dari hasil penyelidikan tersebut ditemukan suatu tindak pidana korupsi, maka harusnya menaikan status penanganannya menjadi penyidikan untuk membuat suatu tindak pidana dimaksud menjadi terang-benderang serta menetapkan tersangkanya agar kemudiandilimpahkan ke tahap penuntutan.
Tetapi KEJARI ambon dengan nekatnya tidak menaikan status penanganan perkara ke
tahap penyidikan malahan langsung melakukan penghentian penyelidikan. Hal ini tergambar jelas bahwa KEJARI ambon telah mendistorsi hukum denganmenggabungkan tahapan penyilidikan, penyidikan, penuntutan serta upaya memutuskan bersalah dan tidaknya terduga pelaku tindak pidana korupsi dalam satu
tahapan tanpa landasan hukum yang jelas, yang didalamnya terdapat kewenangan hakim peradilan khusus Tindak pidana korupsi untuk memutuskan.
Secara substantif, pasal 7 ayat 1 huruf i, jo. Pasal 109 ayat 2 KUHAP; alasan
penghentian penyelidikan dikarenakan hanya ada dua alasan, yakni :
1. Tidak terdapat minimum alat bukti/ 1 (satu) alat bukti.
2. Serta peristiwa yang dilidik oleh penyelidik ternyata bukan merupakan tindak pidana.
Sedangkan penghentian penyidikan dikarenakan ada beberapa alasan :
1. Tidak memenuhi alat bukti yang cukup/ 2 (dua) alat bukti.
2. Meninggal pelaku / tersangka.
3. Daluarsa.
4. Dan alasan lainnya secara hukum.
Secara gamblang telah tersirat dalam KUHAP, sehingga KEJARI ambon sudah seharusnya menaikan status penanganannya dari penyelidikan ke penyidikan terlebih dahulu karena terdapat 1 (satu) alat bukti yakni temuan audit BPK, kemudian apabila
tidak terdapat/tidak ditemukan 2 (dua) alat bukti baru bisa menghentikan penyidikan (SP3) ataupun dilimpahkan ke tahap penuntutan. Sehingga tidak melahirkan pertanyaan ditengah publik maluku, bahwa KEJARI ambon menghentikan penyilidikan
dugaan korupsi DPRD Kota Ambon, atas dasar apa :
Apakah tidak terdapat atau tidak adanya 1 (satu) alat bukti….?, Ataukah peristiwa yang
telah dilidik oleh penyelidik bukanlah merupakan suatu tindak pidana korupsi…?, dan
kenapa KEJARI ambon tidak menaikan status penangan perkara dari Penyelidikan ke
tahap penyidikan, padahal telah ditemukan/ terdapat 1 (satu) alat bukti….?
Penghentian proses penyelidikan tanpa adanya proses penyidikan lebih lanjut oleh KEJARI Ambon terhadap adanya dugaan korupsi DPRD kota ambon, dengan alasan
para terduga telah mengembalikan uang hasil dugaan korupsi dan juga dengan alasan azas Keadilan dan Kemanfaatan adalah suatu hal yang tidak mengedukasi yang mengarah kepada proses pengkaburan, juga distorsi terhadap hukum serta proses
penyesatan yang dapat berimplikasi terhadap pembentukan budaya ketidaksadaran akan hukum oleh para perilaku hukum itu sendiri bahwa “korupsi saja nanti kalau
ketahuan kembalikan uangnya agar bebas dari jeratan pidana”, hal ini juga akan menyebabkan ketidak-efektif suatu hukum dikemudian hari yang disebabkan oleh para penegak hukum itu sendiri.
Proses penegakan hukum oleh KEJARI Ambon atas adanya dugaan tidak pidana korupsi selain mengacu pada KUHAP sebagai hirarki hukum acara, juga harusmengedepankan aturan/ delik formil maupun materil yang telah termaktub secara
limitatif didalam UU. TIPIKOR (Lex specialis legi generali), pasal 4 UU. Tindak pidana
korupsi, yang berbunyi :
“Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana Penegasan serupa ditemukan soal gratifikasi, pasal 12 C UU. No. 20/ 2001 TIPIKOR
yang menyebutkan, bahwa :
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 B ayat 1 tidak berlaku, jika
penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada komisi pemberantasan
korupsi.
2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh
penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
gratifikasi tersebut diterima.
3. Komisi pemberantasan korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik
penerima atau milik negara.
4. Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam UU tentang Komisi Pemberantasan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan delik formil dalam UU. Tipikor tersebut, uang hasil tindak pidana korupsi
/gratifikasi walaupun telah dikembalikan tidak bisa menghapus penuntutan pidana terhadapnya, apabila proses pengembalian tersebut melebihi 30 hari jam kerja terhitung
setelah uang hasil dugaan korupsi itu di terima. Peristiwa terjadinya dugaan tindak pidana korupsi DPRD Kota Ambon tersebut pada tahun anggaran 2020 (sudah tahunan/
melebihi 30 hari). Sehingga alasan yang digunakan oleh KEJARI ambon menghentikan penyelidikan tidak dapat dibenarkan secara hukum.
Menggunakan landasan azas hukum keadilan dan kemanfaatan untuk kemudian menghentikan penyelidikan oleh KEJARI ambon, telah menimbulkan pertanyaan besar
bahwa keadilan dan kemanfaatan bagaimana yang dimaksudkan…?
Apakah keadilan
ekonomi ataukah kemanfaatan ekonomi, yang hanya berbicara untung rugi secara materi, sehingga mengembalikan uangnya kemudian habis perkara, pastinya tidak.
Azas keadilan dalam konteks hukum berlaku ketika ada kesetaraan, saling memaafkan,
tidak saling berkeberatan, tidak ada keresahan serta saling adanya respon positif antara terduga dan korban, inilah yang dinamakan azas keadilan kepastian dan
kemanfaatan hukum , Dalam konteks ini kita tahu pelaku adalah orang yang diduga melakukan sementara korbannya adalah negara yang didalam ada rakyat yang saat ini
sedang mempertanyakannya.
Dalam terminologi hukum, azas keadilan hukum dan kemanfatan hukum adalah citacita atau tujuan dari hukum itu sendiri. Sehingga negara hadir melalui penegak
hukumnya untuk menyuseskan kaidah dan norma yang terkandung didalam hukum,agar memberikan efek jerah sehingga terwujudnya: keadilan, kepastian dan kemanfaatan dari tujuan hukum itu. Sehingga pemaknaan dan penempatan landasan azas yang dinilai keliru inilah dapat mencederai kemurnian dari sifat hukum positive itu
sendiri.
Penghentian penyelidikan korupsi DPRD kota ambon juga tidak bisa dibenarkan
menggunakan alasan dengan prinsip keadilan restoratif (restoratif justice), sebab merujuk pada hasil “Nota Kesepakatan Bersama” 4 (empat) lembaga negara yakni :
Mahkamah Agung (MA), Kejaksaan Agung (KEJAGUNG), Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (MENKOPOLHUKAM) tertanggal 17 Oktober 2012 tentang pelaksanaan penerapan dan
penyesuaian penanganan perkara pidana, bahwa penerapan “Restoratif justice” ada batasannya, yakni tidaklah berlaku pada tindak pidana yang hukuman pidananya
menggunakan sanksi minimum termasuk tindak pidana korupsi.
Begitupun menggunakan dasar “Diskresi” oleh KEJARI Ambon pula tidak dibenarkan sebab hak diskresi bisa digunakan oleh pimpinan lembaga penegak hukum kecuali
dalam suatu tindak pidana terdapat kekosongan hukum atau hukum belum mengatur konteks dimaksud. Sehingga tidak ada alasan pembenaran untuk mengeluarkan
keputusan atas dasar hak diskresi.
Dalam gelar ataupun ekspos perkara ini, KEJARI ambon memberikan argumentasi
hukum bahwa perkara ini setelah dihentikan masih bisa dibuka kembali apabila
ditemukan bukti baru atau “novum”, argumentasi ini sangatlah kabur (abscuur), sebab penghentian kasusnya atas dasar pengembalian uang hasil dugaan korupsi dan juga
atas alasan azas keadilan dan kemanfatan, bukan dengan alasan menurut KUHAP, yakni tidak cukup bukti ataupun alasan bukan merupakan suatu tindak pidana korupsi.
Sehingga bukti tidak perlu ditunggu, sebab buktinya sekarang sudah didepan mata namun dikesampingkan.Secara yurisprudensi, terdapat perkara yang sama yakni tindak pidana korupsi di Kabupaten Maluku Barat Daya, yang melibatkan adikWakil Gubernur Maluku, Odie Orno, yang kemudian telah mengembalikan uang hasil tindak pidana kepada negara tetapi tidak dihentikan malahan dilanjutkan sampai diputuskan di meja hijau, ketika itu pengembalian kerugian
hanya sebagai upaya meringankan hukuman bagi pelaku.
Berdasarkan fakta yuridis normatif yang telah diuraikan tersebut, maka
menggambarkan bahwa proses penghentian penyelidikan atas kasus dugaan korupsi DPRD Kota Ambon mengalami cacat prosedur atau tidak sesuai prosedur hukum yang berlaku, sehingga perlu adanya upaya hukum praperadilan atas tidakeran sahnya
penghentian penyelidikan sebagaimana amanat dalam KUHAP agar perkaranya bisa dilanjutkan ataupun dibuka kembali. Kita juga berharap semoga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan supervisi agar mengambil alih atas perkara ini.(***)
