Ragam
Bastori Janji dalam Prespektif Kepemimpinan
Saleh M Wattiheluw
(Pemerhati pembangunan & Dosen Unidjar Masohi)
PUBLIK sering terlibat dalam bastori atau bacarita janji dan adakalanya menagih janji terutama kepada orang-orang yang telah mendapat kepercayaan langsung dari rakyat meraka adalah para kepala daerah yang telah disumpah dan janji. Fenomena bastori janji ini hampir berlaku umum di masyarakat dimana saja.
Terminologi “janji” secara sederhana dapat diartikan tidak lain adalah pernyataan atau ucapan seseorang yang disampaikan secara lisan langsung dan atau disampaikan secara tertulis kepada publik.
Kamus lengkap bahasa Indonesia “Janji adalah perkataan yang menyatakan kesudian, kesediaan untuk melaksanakan sesuatu, menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat sesuatu kepada orang lain”. (Desy Anwar, 2001)
Terminologi janji dalam kata bijak bahasa Arab disebut “Al wa’dudainun” artinya janji itu utang dan dalam bahasa agama janji sering dimaknai “amanah/amanat” yang diartikan identik dengan utang. Jika demikian, maka memenuhi janji itu suatu keharusan artinya utang harus dilunasi atau ditunaikan dan atau dilaksanakan oleh mereka yang telah berucap berjanji terutama para calon pemimpin kepala daerah atau kepala daerah bupati/walikota/gubernur/presidan yang telah mendapat amanat kepercayaan langsung dari rakyat.
Janji dalam prespektif pemimpin apakah kepala daerah, bahkan kepala negara sekalipun, ketika berbicara dan berucap dalam bentuk program atau kebijakan diruang publik katakanlah berkampanye itu berarti kepala daerah atau seseorang calon pemimpin kepala daerah sedang secara tidak langsung membuat komitmen janji dengan publik dengan mengharapkan imbalan dalam bentuk dukungan politik dari rakyat.
Karena itu janji seorang kepala daerah atau janji seorang calon kepala daerah kepada rakyat untuk melaksanakan suatu program tidak bisa dimaknai secara sederhana apalagi diartikan dalam arti sempit misalnya disamakan dengan janji kepada seseorang teman untuk diajak makan bersama. Janji seorang kepala daerah kepada rakyat memiliki kensekwensi psihikologi sangat berat baik didunia maupun nanti diakhirat.
Karena itu seseorang calon pemimpin apakah kepala daerah siapapun dia, sebelum dan setelah terpilih hendaknya jangan latta sesumbar berucap sesuatu kepada publik yang memang diluar kemampuan, kiranya penuh kehati-hatian dan sebaiknya selalu berikhtiar dan berpijak pada kondisi dan kemampuan daerah maupun maupun kemampuan diri.
Maksudnya adalah apa yang disampaikan kepada publik harus terukur, terarah dan sedapat mungkin bisa dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan.
Seorang pemimpin kepala daerah apakah bupati/walikota/gubernur dinilai baik dapat dilihat dari ucapan dan tindakan harus sejalan (linier) ditepati, seorang pemimpin boleh salah asal jangan berbohong alias ingkar janji. “Dan penuhilah janjimu sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawaban”. (Qs. Al Is’raa.34).(**)