Ragam
We All The Indonesian People

Oleh : Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pattimura
“Kita mungkin memiliki agama yang berbeda, bahasa yang berbeda, warna kulit yang berbeda, tetapi kita semua milik satu ras manusia.” Kata-kata ini merupakan quotes Kofi Annan, diplomat asal Ghana Afrika Barat, yang pernah menjadi Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa (Sekjend PBB) ke-7. Ia juga pernah di ganjar Nobel Prize di tahun 2021 dalam bidang perdamaian. Quetes dari diplomat karier senior kelahiran Kumasi, Ghana ini sesuai dengan realitas kita Indonesia yang majemuk.
Untuk itu sisi kemanusiaan (humanity) dalam perespektif keberagaman, yang relevan dengan aspek sosial politik melalui Pemilihan Presiden-Wakil Presiden (Pilpres-Pilwapres), dengan isu-isu penggalangan suara pemilih oleh Calon Presiden-Wakil Presiden (Capres-Cawapres), berdasarkan unsur kewilayahan yang seimbang (balance), perlu diperhatikan secara serius oleh para elite. Hal ini sebagai katup integrative kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terlepas dari itu, pada Kamis (27/10/2023) malam lalu, saya menulis status di akun facebook dalam bahasa Indonesia dengan emoji tertawa, yang diselingi bahasa Melayu Ambon : “suara Jawa itu suara Indonesia dan suara luar Jawa itu suara luar Indonesia tidak diperhitungkan sama sekali pada Pilpres. Luar Jawa kala banya.” Jika para nitizen membacanya secara letterlijk, tentu mereka akan menilai saya antipati terhadap republik ini, sehingga dengan sengaja menuliskan status yang tidak integratif tersebut.
Padahal maksud dari status di akun facebook saya itu tidak-lah antipati terhadap republik ini, melainkan merupakan kritikan saya terhadap pelaksanaan Pilpres-Pilwapres di tahun 2024 ini. Hal ini dikarenakan, para Capres-Cawapres dalam proses penggalangan suara pemilih cenderung sektarian, dimana lebih memperhitungkan suara pemilih di Pulau Jawa, khususnya suara pemilih di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara mereka tidak memperhitungkan suara pemilih di luar Pulau Jawa.
Kalau kita warga masyarakat Indonesia yang berada di luar Pulau Jawa, tentu tidak merespons secara positif model penggalangan suara pemilih dari Capres-Cawapres yang demikian. Seakan kita yang berada diluar Pulau Jawa tidak diperhitungkan sama sekali dalam Pilpres-Pilwapres tahun 2024 ini. Namun pada kenyataannya kita harus mengakui bahwa persentasi pemilih di Pulau Jawa lebih besar daripada persentasi pemilih di luar Pulau Jawa.
Pasalnya wilayah Indonesia dari Aceh sampai Papua, memiliki penyebaran penduduk tidak merata. Pulau Jawa menjadi pulau terpadat penduduknya dibandingkan pulau-pulau lain. Dari survei Poltraciking Indonesia sejak 26 November-2 Desember 2022 menyebutkan hampir 60% pemilih yang ikut Pemilu berada di Pulau Jawa. Ini menjadikan Jawa daerah yang penting diukur peta kekuatan politik elektoralnya. Begitu pula perbandingan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pulau Jawa sekitar 57,4%, sementara DPT luar Pulau Jawa sekitar 42,6%.
Sistem one man one vote (satu orang satu suara) yang digunakan pada Pemilu menjadikan Jawa wilayah penentu kemenangan bagi para peserta Pemilu. Jawa dijadikan basis dan wilayah tarung utama dalam mendulang suara sebanyak mungkin. Pada kontestasi elektoral Pilpres sebelumnya, kandidat yang bisa unggul pada dua provinsi di Jawa dengan signifikan, dipastikan bisa memenangkan Pemilu. Hal itu yang membuat Jawa menjadi incaran utama para kontestan Pemilu. (Poltraciking Indonesia, 2022).
Selanjutnya kembali lagi kepada status di akun facebook saya tersebut, dimana dikomentari dengan sedikit nada provokatif oleh salah satu nitizen. Ia mengatakan dalam bahasa Melayu Ambon : ”berarti katong di Maluku jang iko pemilihan presiden lai abang..e.”. Saya lantas meresponsnya dengan mengatakan dalam bahasa yang sejuk : ”warga Maluku punya pilihan figur capres-cawapres sudah ada, pastinya dong ikut. Kedepan dalam Pilpres berikutnya manajamen konfliknya harus bagus dengan isu kebhinekaan biar Indonesia tetap solid.”
Makud komentar saya tersebut, agar pada Pilpres-Pilwapres di tahun 2029 mendatang partai politik, figur pasangan Capres-Cawapres, tim pemenangan, dan lembaga survei, yang berkepentingan langsung dalam proses penggalangan suara pemilih tidak perlu memberikan dikotomi pemilih Jawa dan pemilih luar Pulau Jawa. Model penggalangan suara yang cenderung Jawa sentris tersebut, tentu akan berdampak rill pada kecemburuan dimana para pemilih luar Pulau Jawa beranggapan mereka tidak diperhitungkan sama sekali.
Tentu kecemburan itu akan berdampak negatif terhadap perilaku politik (political behavior) mereka, untuk bersikap apatis dengan tidak memilih para figur Capres-Cawapres pada Pilpres-Pilwapres. Apalagi kondisi ini didukung dengan tidak terakomodirnya para figur Capres-Cawapres luar Pulau Jawa didalam formasi pasangan tersebut, yang populer disebut politik repsesentasi, maka alternatif buruknya sikap apatis para pemilih luar Jawa itu, akan bertransformasi menjadi perilaku golput, yang sifatnya ideologis dimana mereka tidak memilih Capres-Cawapres pada Pilpres-Pilwapres.
Ada pula para nitizen yang merespons status saya di akun facebook itu, dengan kritikan balik kepada saya, dimana ia memposisikan dirinya paling Indonesia dan saya bukan berada dalam posisi paling Indonesia. Nitizen itu mengatakan : ”jangan punya pikiran bagitu, luar Jawa tetaplah Indonesia bahwa, dari jumlah suara disana menentukan, ya! karena populasinya banyak, tapi kan pembangunan diluar Jawa juga diperhatikan.”
Saya lantas meresponsnya dengan mengatakan : “statemen saya jangan dibaca letterlijk bung. Nanti komentarnya hitam putih. Ini statemen yang mengandung joke politik agar luar Jawa diperhatikan dalam isu isu nasional yang lebih majemuk bukan sektarian.” Tak luput pula sahabat dosen senior saya Prof. Dr. Ir. Aphrodite Milana Sahusilawane, M.S, dari Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, yang populer dengan sapaan Prof. Non Sahusilawane turut merespons status di akun facebook saya tersebut.
Ia mengatakan : “bro Jen kalau cerna lagu Hela-Hela rotan eee rotan eee Tifa Jawa Jawa eee babunyi.” Saya lantas mengatakan : “itu sudah Prof Non, katong badendang deng tifa Jawa saja ni.” Prof Non Sahusilawane lantas mengatakan dibawa komentar saya itu : “tetap katong Indonesia kio bro. Indonesia tanpa Maluku bukan Indonesia. Jumlah pemilih penentu letak di Pulau Jawa. Maluku kita tetap harus di perhatikan. Belajar dari sejarah, para pahlawan banyak orang Maluku. A.M. Sangadji, Dr J Leimena dll silahkan teman-teman lanjutkan.”
Dan saya katakan : “ia benar sekali Prof Non”. Kemudian guru besar bidang sosiologi pedesaan ini pun mengatakan dengan nada nasionalistik dalam bahasa Inggris : “We all the Indonesian people”, yang memiliki makna, “kita semua rakyat Indonesia”. Demikian penegasan Prof Non Sahusilawane, dimana realitasnya kita para nitizen yang saling berkomentar di facebook, dalam posisi pro-kontra menyangkut dengan penggalangan suara pemilih Capres-Cawapres yang lebih diprioritaskan di Pulau Jawa ketimbang luar Pulau Jawa.
Namun dibalik pro-kontra itu, tentu kita semua adalah rakyat Indonesia, yang sejak awal keberadaan mendiami bumi Nusantara ini kita sudah memiliki sisi kebhinekaan dari aspek : suku, agama, dan ras (SARA). Sesuatu yang tidak bisa kita pungkiri sedari awal rakyat Indonesia beragam. Dengan kemajemukan tersebut, sudah semestinya para elite di republik ini mengelolanya dengan baik khususnya dalam event-event politik nasional yakni, Pilres-Pilwapres dengan isu-isu yang lebih pluralistik, demi mensolidkan rakyat Indonesia untuk mensukseskan agenda politik akbar tersebut.(**)
