Connect with us

Politik

Gustavo Petro Eks Pemberontak Jadi Presiden Kolombia

Published

on

Oleh : Dr. M.J. Latuconsina,S.IP, MA
Staf Dosen Fisipol, Universitas Pattimura

“Tak ada orang yang akan sukses jika tidak siap menghadapi dan menanggulangi kesulitan-kesulitan dan mempersiapkan diri memikul tanggung jawab.” (William John Henry Boetcker).


Terdapat sedikit dari para pimpinan, yang berada di negara dunia ketiga (berkembang), memiliki kepala pemerintahan/kepala negara, yang awalnya adalah pemberontak (gerilyawan) terhadap pemerintah di negara mereka masing-masing. Sebegian kecil yang kemudian sukses menumbangkan rezim, yang berkuasa. Namun sebagian kecil juga mendapat amnesti dari pemerintah, lantas ikut serta dalam Pemilihan Umum (Pemilu), dan berhasil menjadi anggota parlemen, walikota, gubernur, menteri sampai menjadi presiden.

Sebut saja Prachanda seorang pemberontak (gerilyawan), yang aktif sebagai Ketua Partai Komunis Nepal, yang berhaluan Komunis-Maois. Selanjutnya Hun Sen seorang pemberontak, yang aktif di Khmer Merah Kamboja, yang berafiliasi Marxis-Leninis. Kemudian Jose Mujica seorang pemberontak, yang aktif di Movimiento de Liberación Nacional-Tupamaros (MLNT) Uruguay, yang berhaluan Marxis-Leninis, dan Michel Djotodia seorang pemberontak, yang aktif sebagai pimpinan koalisi Seleka Republik Afrika Tengah, yang berhaluan Nasional Demokrat.

Rata-rata para pimpinan pemberontak ini, sukses mengambil alih dan mengakiri kekuasaan kepala negara/kepala pemerintahan di negara mereka melalui perang sipil. Bahkan ada diantara mereka, yang terjun langsung melalui Pemilu di negaranya, yang berada di kawasan Asia selatan, Asia tenggara, Amerika selatan dan Afrika tengah, setelah rekonsiliasi mereka dengan pemerintah di negaranya. Hingga mereka sukses menjadi perdana menteri, dan presiden di negara mereka. (Antara, 2013, Britannica, 2024, Wikipedia 2024).


Tidak hanya para pimpinan pemberontak di Nepal, Kamboja, Uruguay dan di Republik Afrika Tengah, yang sukses menjadi perdana menteri, dan presiden. Tapi juga terjadi di negara yang terletak di kawasan Amerika selatan yakni, di Kolombia. Di negara penghasil kopi terbesar kedua di dunia ini, presidennya Gustavo Francisco Petro Urrego, yang populer dengan sapaan Gustavo Petro, dahulunya seorang pemberontak. Ia pernah memanggul senjata bersama kawan-kawannya di Movimiento 19 de Abril (M-19), yang berhaluan Marxis melawan Pemerintah Kolombia.

Gustavo Petro lahir pada 19 April 1960, di Ciénaga de Oro, sebuah kota kecil di wilayah peternakan dan perkebunan kapas di negara bagian Cordoba di barat laut Kolombia. Ia tidak menetap lama di tempat kelahirannya tersebut. Untuk penghidupan ekonomi keluarganya yang lebih baik lagi, Petro kemudian bersama keluarganya hijrah ke Zipaquirá, Cundinamarca sebuah daerah pertambangan garam, yang berada dipedalaman, kurang lebih 50 km (30 mil) timur laut Bogotá, ibu kota negara pengekspor minyak bumi tersebut.

Ia keturanan imgran Italia, kakek buyutnya, Francesco Petro, bermigrasi dari Italia selatan pada tahun 1870 lampau ke kawasan Amerika bagian selatan tersebut. Petro kecil hingga remaja menempuh sekolah dasar dan menengah di sekolah Katolik Colegio Nacional de La Salle, di Zipaquirá. Petro pengagum Gabriel Garcia Marquez sastrawan tersohor asal negaranya, beraliran realisme magis, yang di ganjar Nobel Prize bidang sastra di tahun 1982. Kekagumannya, lantaran Marquez menempuh pendidikan awalnya di sekolah yang sama dengannya.

Usai menamatkan pendidikan menengahnya, Petro melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Externado Kolombia di Bogotá, dengan mengambil jurusan ekonomi, hingga ia meraih gelar sarjana ekonomi. Ia kemudian melanjutkan studi pascasarjananya di Escuela Superior de Administracion Pública (ESAP), Bogota dalam bidang administrasi publik, dan kemudian lulus. Ia lantas kuliah pascasarjana lagi di Universitas Javeriana, Bogota dalam bidang ekonomi hingga sukses meraih gelar magister.

Petro adalah sosok yang gandrung sekolah, tak cukup satu gelar sarjana dan dua gelar magister saja, tapi ia menambah gelar lagi, dimana ia melanjutkan pascasarjana dalam bidang lingkungan hidup dan kependudukan dari Universitas Katolik Leuven, Belgia hingga tuntas. Sampai kemudian ia terbang ke Spanyol, untuk menempuh kuliah program doktor di Universitas Salamanca, dengan mengambil jurusan administrasi bisnis, dan berhasil meraih gelar doktor. (Britannica, 2024, Uniades, 2024, Wikipedia 2024).

Saat usia 17 tahun Petro dilirik oleh Gerakan 19 April (M-19) kelompok gerilya Marxis. Cikal bakal lahirnya M-19, akibat ketidakpuasan hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) Kolombia, pada 17 April 1970. Pasalnya Misael Pastrana Borrero, yang diusung Front Nasional dari koalisi Partai Konservatif dan Partai Liberal yang menangkan Pilpres, dinilai para pendukung Gustavo Rojas Pinilla dari Aliansi Populer Nasional (ANAPO) curang. Kelompok sayap kiri dalam ANAPO itu selanjutnya bertransformasi menjadi M-19.(Britannica, 2024, Radionacional, 2022, Wikipedia, 2024).

Dalam perkembangannya M-19, tempat aktifitas Petro membuat sejumlah kekacauan, seperti penculikan pimpinan buruh di tahun 1976, penjebolan gudang senjata di Bogota di tahun 1979, dan penculikan tamu pesta koktail di Kedutaan Besar Republik Dominika di Bogotá di tahun 1980. Ia selalu dikaitkan dengan berbagai kasus keonaran itu. Namun anggota M-19 mengatakan ia hanya terlibat dalam propaganda, untuk kepentingan organisasi pemberontak itu. Pengalamannya tatkala kuliah, dengan mendirikan surat kabar mahasiswa, yang rupanya berkontribusi baginya menjadi ahli propaganda organisasi berhaluan Marxis itu.

Meskipun aktif di organisasi pemberontak, namun ia memiliki sisi kemanusaan. Masa kecilnya di kawasan pertambangan garam Zipaquirá, Cundinamarca, tatkala ia menyaksikan kemiskinan yang kemudian membentuk sisi kemanusiaannya, untuk memperhatikan kaum papa saat ia aktif di M-19. Ketika aktif di organisasi berhaluan Marxis itu, ia memimpin penyitaan sebidang tanah untuk menampung 400 keluarga miskin yang terpaksa mengungsi. Dalam perkembangannya, ia tak hanya mengandalkan gerakan bersenjata saja, namun juga memilih jalan non bersenjata.(Britannica, 2024, Wikipedia, 2024).

Pada tahun 1981 ia terpilih menjadi ombudsman Zipaquira, dan pada tahun 1984 ia terpilih menjadi anggota Dewan Kota. Meskipun sudah menduduki jabatan sipil, namun ia masi aktif di M-19. Pada bulan 1985, ketika menyamar sebagai seorang wanita, Petro ditangkap dan dipenjarakan setelah ia diketahui memiliki senjata api, dan bahan peledak rakitan secara ilegal. Sekitar tiga minggu kemudian, ketika ia masih berada di balik jeruji besi, terjadi prahara. Organisasnya M-19 melakukan operasi yang paling terkenal yakni, penyerangan kantor Kehakiman di Bogotá, dan menyandera sejumlah orang.

Dalam serangan berikutnya terhadap gedung itu, sekitar 100 orang tewas, termasuk separuh dari hakim Mahkamah Agung Kolombia. Pada bulan Maret 1987 Petro dibebaskan, ia mengupayakan pembicaraan damai antara pihak M-19 dan Pemerintah Kolombia di era Presiden Virgilo Barco Vargas. Upaya damai itu membuahkan hasil positif, dimana pada tahun 1990 ia dengan kawan-kawannya, yang terhimpun dalam M-19 mendapat amnesti dari Presiden Vargas. Organisasinya M-19 itu pun bertransformasi menjadi partai politik yang sah, Alianza Democrática M-19.

Usai tak lagi menjadi kombatan di organisasi berhaluan kiri, Petro mulai terjun ke pentas politik negara penghasasil zamrud itu. Sebagai anggota Partai Alianza Democrática M-19, ia pun mencoba peruntungan di pentas electoral, tak sia-sia upaya politiknya, Petro terpilih untuk duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kolombia pada Pemilu 1991. Meskipun sudah berkarir sebagai angota parlemen, ia tidak sepi dari prahara politik, yang mengancam nyawanya. Petro pun harus hengkang dari negaranya di tahun 1994, dan dipercayakan menjadi atase diplomatik negaranya di Belgia.(Britannica, 2024, Artsandculture, 2024, Wikipedia, 2024).

Setelah beberapa tahun di Eropa, Petro pulang ke Kolombia. Kepulangannya membawa berkah baginya, dimana kembali terpilih menjadi anggota DPR pada Pemilu tahun 1998. Selanjutnya kembali terpilih pada Pemilu tahun 2002. Tak hanya menjadi anggota DPR saja, pada Pemilu tahun 2006, ia tampil berkontestasi mencalonkan diri sebagai anggota Senat. Petro pun sukses menjadi anggota Senat. Tatkala menjadi anggota Senat, ia begitu vokal terhadap presiden dan berbagai kasus hitam, yang berbau nepotisme dimana memiliki relasi dengan presiden.

Berbekal pengalaman sebagai anggota parlemen lima periode, yang kritis terhadap penguasa membuat ia mendapat simpati rakyat Kolombia. Hal ini yang kemudian membuat Petro confidence mencalonkan diri sebagai calon Presiden (Capres) Kolombia pada Pilpres tahun 2010, berpasangan dengan calon Wakil Presiden (Cawapres) Clara Lopez, yang diusung Partai Alternative Democratic Pole, dan Partai Patriotic Union. Pemilu kali ini Petro bersama duet Cawapresnya belum beruntung, karena kandas pada Pilpres Kolombia putaran pertama, dengan hanya meraih 9,2% suara saja.

Kandas pada Pilpres Kolumbia putaran pertama, tak membuat Petro patah semangat. Ia mencoba peruntungan dengan mencalonkan diri sebagai Walikota Bogota pada tahun 2011. Rivalnya politiknya kali ini adalah, Enrique Penalosa. Enrique adalah calon Walikota Bogota, didukung mantan Presiden Alvaro Uribe, yang lebih diunggulkan dari mantan pemberontak ini. Namun takdir berkata lain, Petro-lah yang memenangkan pemilihan Walikota Bogota tersebut, dengan maraih 31% suara. Sementara Enrique hanya marih 25% suara (BBC News Indonesia, 2011, Pachon, 2011).

Kepemimpinan Petro sebagai Walikota Bogota menuai keberhasilan. Ia memperkenalkan sejumlah program sosial yang sukses, termasuk subsidi tarif air, dan tarif bus bagi masyarakat kurang mampu. Begitu pula ia mengurangi utang, kejahatan, dan kemiskinan di Bogota. Kendati demikian ia gagal dalam manajemen sampah, karena tumpukan sampah di berbagai sisi kota. Dampaknya Petro dicopot dari jabatannya oleh Inspektur Jenderal Kolombia, Alejandro Ordonez Maldonado di tahun 2013. Sebelum pemecatan itu, ia dihadang oleh partai oposisi dan sekitar 600.000 tandatangan warga Kota Bogota menentangnya.

Pencopotannya tersebut, diikuti pula dengan sanksi pelarangan melakukan aktivitas politik selama 15 tahun. Protes pun muncul, dimana sejumlah pihak menilai keputusan dari Inspektur Jenderal Kolombia tersebut, tidak demokratis. Namun keputusan Komisi Hak Asasi Manusia Inter-Amerika, yang kemudian menangguhkan sanksi yang dijatuhkan oleh Inspektur Jenderal itu kepada Petro. Akan tetapi, Presiden Kolombia Juan Manuel Santos memiliki sikap yang berbeda, dimana menguatkan pemecatannya tersebut secara resmi pada 19 Maret 2014.

Untuk pengganti sementara, Presiden Santos menunjuk Menteri Tenaga Kerja, Rafael Pardo, sebagai Walikota Bogota. Pada 19 April 2014, hakim dari Pengadilan Tinggi Bogotá memerintahkan presiden untuk mematuhi rekomendasi yang ditetapkan oleh Komisi Hak Asasi Manusia Antar-Amerika. Petro diangkat kembali sebagai Walikota Bogota pada tanggal 23 April 2014, dan menyelesaikan masa jabatannya. Prahara politik pun mampu dilewati mantan gerilyawan berhaluan kiri ini, dengan menempuh jalur hukum. (Britannica, 2024, Liputan 6, 2011, Wikipedia, 2024).

Setelah gagal pada Pilpres Kolombia putaran pertama di tahun 2010, Petro mencoba peruntungan untuk kedua kalinya, dengan maju sebagai Capres Kolombia pada Pilpres tahun 2018. Ia duet dengan Cawapres Angela Robledo, diusung Partai Humane Colombia. Rivalnya Capres Iván Duque Márquez, dan Cawapres Marta Lucia Ramires, dicalonkan Partai Centro Democartico. Serta Capres Sergio Fajardo dan Cawapres Claudia Lopez Hernandez, diusung Partai Hijau, Polo Democrático dan Gerakan Compromiso Ciudadano.

Hasil Pilpres Kolombia putaran pertama pada 28 Mei 2018, duet Duque-Lucia unggul meriah 39,1%, duet Petro-Angela renner up meriah 25,1% dan pasangan Fajardo-Claudia hanya meraih 23,8%. Fajardo gagal masuk Pilpres putaran kedua. Rupanya ekspetasi Petro untuk memenangkan Pilpres Kolombia, yang untuk kedua kali diikutinya tersebut, belum terpenuhi. Pasalnya ia dan Cawapres Angela dalam Pilpres putaran kedua, pada 17 Juni 2018 tersebut, harus mengakui keunggulan Duque-Lucia, yang menang dengan meraih 54,3% suara.

Duet Petro-Angela berada pada posisi kedua, meraih 41,77% suara. Kemengan Duque-Lucia menadai legitimasi rakyat Kolombia terhadap mereka, untuk menjadi Presiden-Wakil Presiden di negara jirannya Venezuela di bagian timur itu. Meskipun Petro-Angela kalah pada Pilpres Kolombia 2018, tapi ia mengalami impresif politik positif, dimana berada pada renner up perolehan suara. Hal ini menandakan lonjakan keterpilihannya secara kuantitatif, dibandingkan Pilpres 2010, dimana ia bersama pasangannya kandas pada Pilpres putaran pertama.

Tak kapok dengan kekalahan dua kali, pada Pilpres Kolombia tahun 2010 dan 2018, untuk kali ketiga mantan Walikota Bogota, yang penuh kontroversial itu, mencoba lagi peruntungan politik, dengan maju sebagai Capres Kolombia pada Pilpres, yang digelar pada 29 Mei 2022. Ia berpasangan dengan Cawapres Francia Márquez perempuan berkulit hitam, yang diusung oleh koalisi Pacto Histórico. Tak sia-sia upaya ketiga kalinya. untuk menjadi orang nomor satu, di negara yang berbatasan dengan Laut Karibia itu.

Petro bersama pasangannya mengalahkan duet Capres Rodolfo Hernandez dan Cawapres Marelen Castilo, yang maju sebagai calon independen. Keunggulan Petro-Francia sudah nampak dari Pilpres putaran pertama, dimana meraih 40,3% suara. Sementara rival mereka Hernandez-Marelen meriah 28,2% suara. Pada Pilpres putaran kedua 19 Juni 2022, keunggulan Petro-Francia tetap berlanjut, mereka meraih 50,5% suara melebihi lawannya Hernandez-Marelen mantan Walikota Bucaramanga dan anggota DPR Kolombia, yang meraih 47,3% suara. (Tempo, 2018, Indo Progress, 2022, Kompas, 2022, Republika, 2022).

Program-program populisnya yakni, menaikkan pajak bagi 4.000 orang terkaya, membentuk kementerian kesetaraan. Termasuk mengusulkan reformasi agraria guna memulihkan produktivitas 15 juta hektar lahan untuk mengakhiri “narco-feodalisme”. Selanjutnya menjanjikan askes terpenuhinya inprastruktuir air, pengembangan jaringan kereta api, dan reformasi sistem kesehatan yang telah diprivatisasi. Begitu pula tindakan pertamanya, tatkala menjadi presiden adalah mengumumkan keadaan darurat ekonomi, untuk memerangi kelaparan yang meluas, dan berbagai program-program populis lainnya.

Terpaut dua tahun lagi Petro akan mengakhiri jabatannya sebagai Presiden Kolombia, butuh tanggunjawab penuh agar ia dapat merealisasikan program-program populis tersebut, untuk mengeluarkan rakyat di negara, yang dilintasi garis katulistiwa itu ke arah kehidupan perekonomian yang lebih baik lagi. Tentang tanggungjawab itu, mengingatkan kita pada qoutes William John Henry Boetcker (1873-1962), seorang pembicara publik asal Amerika pada zamannya bahwa, “tak ada orang yang akan sukses jika tidak siap menghadapi dan menanggulangi kesulitan-kesulitan dan mempersiapkan diri memikul tanggung jawab.”(**)

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *