Ragam
Putusan MK Tak Sentuh Jabatan Benyamin Noach, Berhak Kembali Calon Bupati MBD
AMBON,DM.COM,-Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK), tidak sedikit pun menyentuh jabatan Bupati Maluku Barat Daya (MBD), Benyamin Thomas yang kembali maju merebut kursi Bupati MBD pada periode kedua pada Pilkada serentak 2024. Bahkan, objek putusan MK tidak berhubungan dengan syarat pencalonan.
Demikian disampaikan anggota DPRD MBD, Remon Amtu dan Madaskolay Viktoris Dahoklory, SH., MH dosen Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM, melalui keterangan tertulis yang diterima DINAMIKAMALUKU.COM, Sabtu (16/11/2024).
Amtu yang juga politisi PDIP ini mengaku, belakangan ini publik di bumi Kalwedo, kembali dihebokan dengan beberapa akun media sosial yang sengaja meyebarkan berita Hoax menyudutkan Noach uang kembali berpasangan dengan Wakil Bupati MBD Agustinus Lekwardai Kilikily.
“Oknum oknum penyebar berita Hoax ini menghubungkan Putusan Mahkamah Kostitusi Nomor 129/PUU-XXII/2024, yang amarnya putusannya ditolak secara keseluruhan, ”tegas Amtu yang juga ketua tim pemenangan Noach-Kilikily, akrab disapa Benyamin-Arim
Amtu mengaku, jika membaca Putusan Nomor 129/PUU-XXII/2024 tidak ada hubungannya dengan Benyamin Noach, yang menjadi pokok pemohon di dalam perkara itu adalah pasangan calon gubernur dan bupati yang mengikuti Pilkada Bengkulu baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten.
“Jadi itu sama sekali tidak ada hubungan dengan Benyamin Thomas Noach atau BTN yang mengikuti Pilkada di Maluku Barat Daya, ”tandasnya.
Amtu mengatakan, Benyamin belum dua periode memimpin daerah itu. Pasalnya, Benyamin mengantikan Barnabas Orno yang dilantik menjadi Wakil Gubernur Maluku. Ketika itu, Benyamin dilantik menjadi Penjabat Bupati dengan sisa masa bakti 2 tahun.
“Jadi saya tegaskan bahwa Benyamin Thomas Noach belum 1 periode sebagaimana disebutkan dalam Putusan 129/PUU-XXII/2024 yang kembali menguatkan 3 putusan Mahkamah Kostitusi sebelumnya yaitu putusan nomor 22/PUU-VII/2009, nomor 67/PUUXVIII/2020, dan nomor 2/PUU-XXI/2023, ” bebernya.
Sementara itu, Dahoklory menjelaskan, objek gugatan dalam Putusan Mahkamah Kostitusi Putusan 129/PUU-XXII/2024, adalah pasal Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898), bukan Pasal 7ayat (2) yang berhubungan dengan syarat pencalonan.
Bahkan,,ingat putra Kisar ini, semua permohonan pemohon ditolak oleh MK yang berpendirian sama dengan tiga putusan yang sudah diputuskan sebelumnya yaitu putusan nomor 22/PUU-VII/2009, nomor 67/PUUXVIII/2020, dan nomor 2/PUU-XXI/2023.
Untuk itu, Dahaklory mengatakan, secara expresive-verbiss Pasal 7 ayat (2) menyatakan “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, harus memenuhi persyaratan yakni “belum pernah menjabat sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota”. Dalam pelaksanaan norma tersebut urai Dahoklory, terkadang ditemukan fakta yang bersifat kasuistik.
“Dimana ada kepala daerah yang belum selesai menjalani masa jabatan selama 5 (lima) tahun, akan tetapi yang bersangkutan sudah, mengundurkan diri, atau menduduki jabatan yang lebih tinggi, ”jelas Dahaklory.
Pemaknaan terhadap keadaa ”faktual” atau keadaan ”nyata” sebagai Kepala Daerah dalam racio decidensi putusan MK aquo lanjutnya menegaskan bahwa telah secara jelas diatur dalam Pasal 173 ayat (1) UU 10/2016 yang menegaskan proses pergantian kepala daerah wakil kepala daerah terhadap kepala daerah terjadi dalam keadaan Kepalda daerah berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri dan diberhentikan.
Artinya dalam situasi yang demikian wakil kepala daerah secara langsung menjalankan fungsi sebagai kepala daerah dalam menjaga kelangsungan jalannya pemerintahan. Hal ini karena rangkaian pengangkatan wakil kepala daerah untuk menggantikan posisi kepala daerah sebagaimana diatur didalam Pasal 173 ayat (2) sampai dengan ayat (7) tidak dapat berlangsung seketika.
“Akibatnya terhadap kekosongan jabatan itulah, Wakil Kepala Daerah difungsikan sebagai pengganti Kepala Daerah yang berhalangan, sampai masa jabatannya selesai, ” Beber Dosen Fakultas Hukum UKIM ini.
Dijelaskannya, Pada titik itulah muncul pertanyaan konstitusionalnya, apakah kedudukan hukum ‘Wakil Kepala Daerah yang dilantik mengganti Kepala Daerah’ dan menjalani sisa masa jabatan Kepala Daerahnya itu, dihitung sebagai 1 (satu) masa jabatan (periodesasi) sehingga jika menjabat berikut sudah dianggap 2 (dua) periode dan tidak bisa dicalonkan atau mencalonkan dirinya lagi.
Jawaban atas pertanyaan diatas tambah Dahaklory, telah diulas secara konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusanNya, yaitu (i) Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009, (ii) Putusan MK Nomor 67/PUU-XVIII/2020, dan terakhir (iii) Putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023 dan yang terakhir 129/PUU-XXII/2024.
“Dalam keempat putusan tersebut Mahkamah Konstitusi konsisten dengan berpendirian teguh terhadap pertimbangan hukum dalam putusan-putusan sebelumnya, ” Ujarnya.
Menurut mahkamah, masa jabatan kepala daerah dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari masa jabatan. (vide putusan MK No 2/2023, hlm. 49).
Lebih lanjut, setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan. Artinya jika seseorang telah menjabat Kepala Daerah atau sebagai Penjabat Kepala Daerah selama setengah atau lebih, maka yang bersangkutan telah dihitung menjabat satu kali masa jabatan.
Frase “setengah atau lebih dari jabatan” secara matematis, dapat dihitung dari 5 (lima) tahun masa jabatan Kepala Daerah. ‘Perhitungan masa jabatan sebagaimana dimaksud bersifat kumulatif’.
Dengan perkataan lain ujar Dahakkory, cara menghitungnya ialah ‘setengah (½) atau lebih masa jabatan’ diberlakukan sama terhadap pejabat yang telah/pernah menjalani masa jabatan baik dalam kedudukannya sebagai penjabat definif maupun penjabat sementara secara kumulatif dan tidak dibedakan (vide Putusan MK No 2/2023 hlm. 50).
Sebagaimana dipahami, tujuan penjabat definitif diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan sampai dengan masa jabatan itu selesai.
“Sedangkan penjabat sementara hanya diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan yang bersifat sementara waktu, sampai dengan penjabat definitif kembali menjalani tugas, ” tambah Dahoklory.
Apabila dihubungkan dengan masa jabatan yang pernah atau telah dijalani oleh Bupati Kabupaten Maluku Barat Daya, maka sesungguhnya beliau hanya barulah menjabat 1 (satu) kali dalam jabatan kepala daerah kabupaten MBD yaitu pada periode 2021-2024.
Sedangkan pada masa jabatan sebelumnya (tahun 2016-2021), tidak tepat dimaknai sebagai satu periode jabatan karena belum mencapai setengahnya atau lebih, apalagi bila proses pergantian Bupati MBD saat itu yang dilantik menjadi Wakil Gubernur Maluku disertai saat itu juga dengan pengangkatan Wakil Bupati MBD sebagai Pejabat Bupati dan kemudian dalam beberapa waktu berselang dilantik menjadi Bupati definitif. Artinya hampir tidak ada kekosongan waktu yang diartikan sebagai keadaan yang faktual atau nyata.
Lebih lanjut, kalaupun dikumulasikan dengan ‘masa jabatan yang pernah dijalani oleh yang bersangkutan’ dalam kedudukan lainnya sebagai Penjabat Sementara, baik itu PLH pada waktu masa kampanye Pilkada tahun 2018 selama kurang lebih 4 bulan. (pada bulan februari-juni 2018 sesuai PKPU No 2/2018), maupun dikumulasikan dengan masa jabatan dalam kedudukan sebagai PLT Bupati MBD yang telah/pernah dijalani oleh yang bersangkutan selama kurang lebih 1 bulan
“Maka dalam batas penalaran yang wajar, masa jabatan yang telah atau pernah dijalani oleh Bupati MBD Benyamin Thomas Noach sepanjang periode 2016-2021, baik ketika menjadi pejabat definitif maupun pejabat sementara (PLH/PLT) tidaklah mencapai atau melebihi 2 tahun 6 bulan, ” Urai Dahoklory.
Maka dalam konteks itulah, perhitungan sisa masa jabatan yang telah/pernah dijalani oleh Bupati MBD tersebut, tidak tepat secara konstitusional dimaknai sebagai ‘satu periode jabatan Kepala Daerah’.
“Oleh karena itu, mencalonkan diri atau dicalonkan kembali dalam jabatan periode berikut pada pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024, sejatinya merupakan Hak Konstitusional Benyamin Thomas Noach yang dijamin dan tidak dibatasi atau dilarang oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan, ”pungkasnya.(DM-04)